Tuesday, June 26, 2007

SAD Menolak Keberadaan Kebun Sawit

http://www.kompas.co.id/

Sumatera Bagian Selatan
Selasa, 26 Juni 2007

Jambi, Kompas - Masyarakat Suku Anak Dalam atau SAD di Desa Markanding, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi, menentang pembukaan lahan perkebunan sawit di atas tanah adat mereka. Pasalnya, pihak perusahaan tidak menepati janji untuk membangun infrastruktur jalan di daerah itu.

Unjuk rasa masyarakat yang berjumlah sekitar 50 orang tersebut berlangsung sejak pukul 08.00 di Kantor Badan Pertanahan Negara Provinsi Jambi, Senin (25/6). Dialog kemudian digelar Bagian Penyelesaian Sengketa Agraria BPN Jambi Khaerul hingga berakhir sekitar pukul 15.00.

Kutar (56), warga SAD yang ikut berunjuk rasa, mengemukakan, lahan warga diambil alih oleh perusahaan sawit PT BDU sejak 1985. Pada saat itu, sebagian besar warga mau memberikan tanah mereka untuk dikelola menjadi kebun sawit dan kebun cokelat, karena pihak perusahaan menjanjikan bakal membangun infrastruktur dan membuka akses desa ke kota.

Namun, hingga perkebunan tersebut dialihkan ke perusahaan lain, PT AP pada tahun 2003, janji-janji tersebut belum ditepati hingga kini. "Untuk itulah, kedatangan kami ke sini adalah menuntut kejelasan yang sudah tujuh tahun lamanya belum kami dapatkan," tutur Kutar.

Menurut dia, ratusan keluarga yang sebagian besar menetap di sekitar aliran sungai tersier yang berinduk pada Sungai Bahar, telah tergusur. Sementara kebun warga telanjur ditebangi, antara lain ditanami jernang, karet, duren, dan rambutan.

Penghasilan sehari-hari dari kebun tersebut cukup besar. Misalnya, untuk satu hingga dua kilogram jernang harganya mencapai Rp 1,5 juta per kilogram.

Warga yang tergusur akhirnya tinggal dalam hutan di luar perkebunan. Mereka justru menjadi perambah di tempat lain. (ITA)

Catatan :

Masyarakat Suku Anak Dalam dari Desa Markanding, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambitergabung dalam organisasi Gerakan Suku Anak Dalam Kelompok 113 yang merupakan jaringan Serikat Tani Nasional di Prop. Jambi.

Salah satu kesepakatan yang didesakkan SAD kepada BPN Prop. Jambi adalah penyelesaian konflik agraria dengan melakukan pengukuran ulang terhadap tanah rakyat. Kegiatan ini akan dipimpin oleh BPN dengan melibatkan SAD dan dibiayai dari APBD kabupaten setempat. Sebelum akhir Juli 2007, kegiatan tersebut sudah berakhir dan hasilnya akan dikaji lebih mendalam sampai dilakukannya legalisasi/pengakuan atas tanah SAD dengan cara meng-enclave dari areal perkebunan.

Wednesday, June 20, 2007

ARK Kudus Tolak Kedatangan Wapres

http://www.suaramerdeka.com/

Rabu, 20 Juni 2007 MURIA

KOTA - Puluhan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Kesejahteraan (ARK), Selasa (19/6), menggelar unjuk rasa di depan Alun-alun Simpang Tujuh, Kudus. Pada aksi itu, mereka menegaskan penolakan terhadap UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal.

Selain menggelar orasi, peserta aksi juga membawa poster yang berisi kritikan atas pengesahan regulasi tersebut. Di antara poster yang dibawa, juga terdapat poster penolakan kedatangan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang melakukan kunjungan ke Pati dan Kudus.

Menurut koordinator lapangan, Mustaqim, pihaknya secara tegas menginginkan pemerintah mencabut UU yang telah disahkan pada 29 Maret lalu. Hal itu didasarkan atas kekhawatiran bahwa aset-aset rakyat banyak yang akan jatuh pada pemodal, baik asing maupun lokal. "Selanjutnya, mereka yang akan mengendalikan harga, sehingga pemerintah kehilangan otoritas dalam melindungi rakyatnya," ujarnya.

Peserta demo, yang terdiri atas unsur PMII, SB Inpro Sejahtera Jepara, SB CV Asri Jepara, Kelompok Swabela Perempuan, FSBDSI, LMND, BEM UMK, LPH Yaphi, YPL Jepara, FPPI, Pagar Lindung, KPI, dan PPBK, pada kesempatan tersebut juga membacakan petisi.

"Petisi kami sampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla, BPN Pusat, DPR RI, dan Mahkamah Konstitusi," jelasnya.

Isi petisi tersebut, pertama meminta pemerintah mencabut UU Penanaman Modal. Kedua, meminta penghapusan utang lama dan menolak utang baru. Ketiga, melibatkan rakyat atau serikat petani dalam kebijakan "Program Pembaharuan Agraria Nasional". Terakhir, menolak adanya kekerasan terhadap petani. Usai menyampaikan petisi, sekitar 60 peserta aksi akhirnya membubarkan diri. (H8-76)

Tanah Hak Petani Diminta Dikembalikan, Serikat Tani dan Mahasiswa Demo

http://www.suaramerdeka.com/

Rabu, 20 Juni 2007 SEMARANG

UNGARAN - Sekitar 70 orang yang menamakan Serikat Tani dan Mahasiswa menggelar demonstrasi di Gedung DPRD Kabupaten Semarang, Selasa (19/6). Mereka mendesak lembaga legislatif untuk membantu memperjuangkan kepemilikan tanah yang dulu milik petani dan sekarang dikuasai pihak lain. Pengunjuk rasa yang diterima anggota Komisi A DPRD R Sedya Prayogo SH MH dan anggota Komisi B Drs Pujo Pramujito, menegaskan, jika tanah tersebut tidak dikembalikan ke petani maka masyarakat pedesaan akan semakin terpuruk.

''Negara harus bisa menjalankan fungsi sosial yakni mengembalikan tanah-tanah rakyat yang saat ini dikuasai Perhutani. Tanah tersebut jelas asal usulnya digarap petani,'' kata Muntiarsih yang mengaku dari serikat petani Jateng, kemarin.

Ia menegaskan, sudah selayaknya Perhutani dibubarkan karena secara ekonomi tidak menguntungkan negara. Dikatakan, sekarang ini juga banyak terjadi kerusakan lingkungan di hutan. ''UU Agraria 1960 dibekukan saat Orde Baru sehingga petani semakin terpuruk. Mestinya di saat petani kehilangan tanah, amanat UU Agraria tersebut benar-benar dijalankan,'' tandasnya. Dia menegaskan, rencana pemerintah mereformasi UU Agraria justru melukai hari rakyat. Muntiarsih menandaskan, pemerintah harus segera memberikan tanah di 19 objek land reform di kabupaten ini kepada petani.

Sutikno (43) petani asal Gondoriyo, Bergas, dalam audiensi dengan anggota DPRD tersebut mengatakan ingin menggarap tanah kosong kehutanan. ''Kami hanya rakyat kecil yang hanya bisa menggarap lahan. Kalau kami tidak punya lahan bagaimana kelanjutan nasib kami,'' jelasnya.

Jafar dari pemuda NU menjelaskan, meski UU Agraria ditetapkan pada 1960 nasib petani Indonesia tak banyak berubah. Menurut dia, konsekuensi semua ini semakin senjangnya ketimpangan penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria. ''Ketimpangan ini juga menjadi penyebab tragedi penembakan para petani oleh oknum aparat militer (marinir) di Pasuruan Jatim,'' tuturnya.

Dibawa ke Polres

Anggota Komisi A DPRD R Sedyo Prayogo menegaskan, mendukung gerakan pejuang petani tersebut. ''Karena lembaga DPRD adalah lembaga politis, kami akan sampaikan ke pemerintah secara politis. Apalagi di DPRD banyak parpol yang akan mendukung perjuangan ini,'' terang Prayogo di hadapan pengunjuk rasa. Namun, menurut dia, jika masalah itu terkait dengan hukum, sebaiknya diselesaikan dengan cara yudisial review.

Triyono, staf BPN yang hadir dalam audiensi ini menjelaskan, pihaknya akan menampung semua aspirasi petani. ''Kami hanya melakukan sesuai aturan,'' jelasnya singkat. Usai aksi, puluhan orang tersebut diminta keterangan ke Polres Semarang karena tidak memberitahukan akan ada aksi mimbar bebas. ''Izinnya cuma audiensi kenapa harus ada mimbar bebas,'' ucap seorang anggota Polres, kemarin.

Dalam aksi tersebut dihadiri Serikat Paguyuban Tani Qaryah Thayyibah, Serikat Tani Nasional, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Front Perjuangan Pemuda Indonesia, HMJ Syariah, Lakspesdam NU Salatiga, Teater Getar, BEM STIE AMA, D-Fash, Mapala STAIN, dan BEM STAIN. (H14-16)

Tuesday, June 19, 2007

Kronik Perjuangan Petani Nagori Mariah Hombang

A. Lahan Perjebunan PT Kuala Gunung Diduduki Petani

Lahan Perjebunan PT Kuala Gunung Diduduki Petani demikian judul Berita Malam Metro TV yang ditayangkan pada Headline News Sabtu, 24/06/2006 pukul 22:05.

Ratusan petani dari dua desa di Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara, menduduki lahan perkebunan milik PT Kuala Gunung secara paksa. Mereka mengaku pendudukan lahan tersebut atas perintah Bupati Simalungun, Zulkarnain Damanik. Menurut warga, lahan seluas 678,5 hektare itu telah dicaplok PT Kuala Gunung sejak 1999.

Pendudukan lahan ini berjalan mulus tanpa perlawanan, namun dengan pengawalan aparat Kepolisian Resor Simalungun berpakaian preman. Aksi ini ditandai dengan pemasangan puluhan papan tanda hak milik warga yang tergabung dalam Forum Petani Nagori Mariah Hombang. Para petani juga menanam sejumlah bibit pohon pisang.

Pendudukan paksa lahan ini sebagai upaya terakhir para petani. Berbagai upaya yang mereka lakukan sebelumnya tidak membuahkan hasil. Berulang kali mereka telah berunjuk rasa menghadap Bupati dan DPRD Simalungun.

B. Asal-Muasal Sengketa Tanah

Sebagaimana sejarah tanah mariah Hombang yang berhasil dihimpun oleh Serikat Tani Nasional menyebutkan bahwa semenjak tahun 1916, Raja Tanah Jawa memberikan tanah dan membuka kawasan hutan kepada rakyat perantauan dari TOBA yang berada di wilayah simalungun.

Pada tahun 1957 takkala terjadi pemberontakan PRRI-PERMESTA terhadap pihak pemerintahan RI, rakyat ketakutan akibat diteror oleh kedua belah pihak yang bertikai, dan terpaksa harus meninggalkan lahan tersebut. Namun pada 1974, masyarakat kembali ke lahan karena situasi yang relatif aman, dan mulai mengelola lahan mereka kembali.

Dinas kehutanan di tahun 1977 meminjam lahan kepada masyarakat untuk program penghijauan, guna menambah debit air di areal tanah yang di usahai masyarakat, selama satu musim tanaman pinus. Namun setelah lewat satu musim tanam pinus, pihak Dinas Kehutanan tak kunjung melakukan upaya pengembalian tanah tersebut. Hingga 1991 masuklah perusahaan, PT. KUALA GUNUNG (PT.KG), PT.KG difasilitasi oleh Jabanten Damanik, Bupati Simalungun pada masa itu. Dengan sedikit memaksa Jabanten Damanik mengatakan hal ini

"Baris-baris ni gajah, dirurah pangaloan molo marsuruh Raja Dae so oloan, molo so ni oloan tubu hamagoan, molo ni oloan ro ma pangolu-ngoluan". [Kalau raja meminta rakyat harus memberinya, dan kalau rakyat tidak mau menerima uang pago-pago (ganti rugi) maka rakyat akan tetap kehilangan haknya atas tanah tersebut].

Ucapan tersebut membuat rakyat ketakutan dan akhirnya menerima tawaran tersebut yang diwakili oleh beberapa tokoh masyarakat. dan lahan tersebut diklaim telah dikuasai oleh PT.KG. Namun, hingga sekarang tidak pernah dikelola oleh perusahaan tersebut.

Adalah Tualam Gultom dan Daulak Gultom pada tahun 1998 mulai mengusahi lahan tersebut. Mereka berdua mengaku mendapat mandat dari PT.KG. Masyarakat yang merasa memiliki lahan tersebut marah dan terjadi pertempuran antara Tualam Gultom dan Daulak Gultom melawan masyarakat. Yang pada akhirnya Daulak Gultom ditangkap dan divonis 2 tahun penjara oleh aparat penegak hukum.

Pada tahun 2005 terjadilah penjual-belian lahan tersebut seluas 687.5 Ha oleh oknum yang mengaku pemiliki kuasa dari PT.KG, Timbul Jhonson Situmorang, kepada berbagai pihak. Diantara pembelinya adalah BARITA DOLOK SARIBU, pengusaha lokal, marga Pardede (Oknum BPN Simalungun) dan TUALAM GULTOM tuan tanah yang sering menggunakan preman untuk menakut-nakuti masyarakat.

Masyarakat, melalui Forum Petani Nagori Mariah Hombang melakukan pengaduan ke DPRD Tkt II Kab. Simalungun dalam bentuk audiensi di bulan April, 2006. Namun hal ini tidak mendapati respons yang serius.

Lalu pada hari Sabtu, 22 April 2006 unjuk rasa pertama dilakukan dengan sasaran aksi DPRD Kab. Simalungun dan PEMKAB Simalungun. Salah satu hasil unjuk rasa adalah janji kesediaan pihak DPRD untuk membuka ruang dialog antara rakyat, PT.KG, Dinas Kehutanan, BPN Kab.Simalungun, Camat, dan Kepala Desa.

Jumat, 28 April 2006 berlangsungkah pertemuan yang dihadiri oleh Tata Pembangunan Kab. Simalungun, BPN Kab.Simalungu, Dinas Kehutanan Kab. Simalungun, Kepala Desa Mariah Hombang. Pihak camat tidak dapat menghadiri pertemuan tersebut.

Kesepakatan yang dicapai bahwa DPRD akan membentuk PANSUS Pengembalian tanah rakyat. Menurut salah seorang anggota dewan [?] bahwa ijin yang dimiliki oleh PT.KG telah gugur demi hukum. Hal ini diperkuat oleh pernytaan dari Dinas Kehutanan bahwa lahan tersebut tidak termasuk ke dalam kawasan hutan negara. Sementara menurut BPN bahwa HGU untuk PT.KG tidak ada.
Senin, 08 Mei 2006 Masyarakat kembali berunjuk rasa ke PEMKAB Simalungun untuk menuntut segera pengembalian tanah kepada rakyat. Dialog antara masyarakat dan PEMKAB yang diwakili oleh assisten I Tata Praja Pembangunan serta Komisi I DPRD Kab. Simalungun menghasilkan jadwal pertemuan yang difasilitasi oleh pemkab antara rakyat, dprd, dan pihak PT.KG satu bulan kedepan.

Dialog multipihak diadakan pada hari Selasa, 06 Juni 2006. Pemkab Simalungun yang diwakili oleh assisten I Tata Praja Pembangunan membuka ruang dialog penyelesaian kasus tanah tersebut. Namun pihak PT.KG tidak hadir melainkan digantikan oleh PT. DITA FUMINDO yang tidak diketahui asal usul dan keterlibatannya terhadap kasus tersebut. Anggota Komisi I DPRD Kab. Simalungun, Sabar Maruli Simarmata, mengusir perwakilan PT.DITA FUMINDO dan mengecam Assisten I yang tidak konsisten dengan janjinya untuk menghadirkan pihak-pihak yang terkait kasus tersebut.

Menurut informasi yang dihimpun Forum Petani Nagori Mariah Hombang, PT Dita Fumindo mengantongi ijin prinsip lokasi seluas 2000 Ha di areal tanah rakyat mariah hombang dan sekitarnya dari Pemkab Simalungun bulan September 2005. Izin tersebut yang ditandatangani oleh Bupati Simalungun Peridode 2000-2005, Jhon Hugo Silalahi.

Kamis, 15 Juni 2006 paling sedikit 5 [lima] buah truk yang diisi masyarakat melakukan unjuk rasa yang di dampingi oleh Anggota Komisi A DPRD Tkt. I Propinsi Sumut, SYAMSUL HILAL dari fraksi PDIP, menuju gedung DPRD dan PEMKAB Simalungun. Rakyat berhasil memaksa DPRD untuk menghadirkan Drs. Zulkarnain Damanik selaku Bupati Simalungun. Bupati berhasil dipertemukan dengan rakyat dan menyerahkan kepada rakyat untuk menduduki lahan tersebut sampai proses pengembalian tanah tersebut selesai. Aksi kali ini mendapat sokongan dari Komite Persiapan Wilayah Serikat Tani Nasional Sumatera Utara dan LSM Jagat Tanah Rakyat.

Upaya Pemerintah Atasi Masalah Pertanahan Nasional, Bagikan Jutaan Hektare Tanah Gratis

http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=289826

Kamis, 14 Juni 2007,

Pemerintah berencana akan memberikan lahan 9,25 juta hektare secara cuma-cuma kepada rakyat miskin. Bagi pemerintah, kebijakan itu juga dianggap sebagai bagian dari upaya untuk memecah kebuntuan proses reforma agraria di Indonesia. Bagaimana konsepnya ?

Awal tahun 2007 ini, tepatnya pada tanggal 31 Januari 2007, Presiden SBY dalam pidato politiknya dengan sangat tendensius menyatakan akan kembali menghidupkan program reforma agraria secara bertahap. Langkah itu, jelas presiden, akan dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin. Tanah yang akan dibagi-bagi itu, rencananya, berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat.

Reformasi agraria (land reform) itu secara umum berarti penertiban kepemilikan hak atas tanah setiap warga negara. Kebijakan tersebut diyakini dapat menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan struktur pertanahan nasional. Sebab, tanah merupakan salah satu alat produksi yang sangat vital bagi rakyat untuk meraih kesejahteraannya.

"Tapi, reforma agraria ini tentunya tidak semata-mata bersandar pada pidato presiden, melainkan undang-undang," kata Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto di Gedung DPR awal pekan lalu. Agenda reforma agraria yang dalam pelaksanaannya disebut dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) itu, jelas dia, utamanya mengacu kepada UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau UUPA.

Bila ditelaah, reformasi agraria di Indonesia mencapai puncaknya pada rentang tahun 1962-1964. Namun, kondisi itu berubah seratus delapan puluh derajat pasca 1965. Program reformasi agraria yang kerap menjadi komoditas politik semasa Orde Lama itu terkena stigma kiri. Bahkan, itu dikait-kaitkan dengan agenda tersembunyi dari kekuatan komunis di Indonesia untuk mendorong revolusi.

Pada masa Orde Baru, tanah-tanah yang diredistribusikan kepada rakyat mengalami pergeseran. Awalnya, tanah-tanah yang dibagi ulang itu berasal dari tanah-tanah yang terkena ketentuan land reform -kelebihan tanah dari batas maksimum dan tanah absentee (terlantar selama 30 tahun). Namu, itu berubah hanya menjadi sebatas tanah-tanah yang memang langsung dikuasai negara.

Artinya, tidak terjadi perubahan kepemilikan tanah secara signifikan. Agenda land reform pun akhirnya bertransformasi menjadi kegiatan redistribusi tanah melalui program-program, seperti Transmigrasi, Perkebunan Inti Rakyat (PIR), dan PIR-Trans.

"Namun, model reformasi agraria yang lalu itu menyisakan banyak sekali pekerjaan rumah yang tak tuntas dan segudang permasalahan," ujarnya. Masalah itu, misalnya, munculnya ketegangan sosial di sejumlah area lahan antara penduduk asli dan para transmigran dan tidak tercapainya target peningkatan taraf hidup masyarakat.

Padahal, dari data yang dihimpun BPN, pada 1961-2005, telah dibagikan tanah 1,16 juta hektare kepada sekitar 1,51 juta KK di seluruh Indonesia. Dengan demikian, masing-masing KK rata-rata mendapatkan 0,77 hektare tanah. "Tapi, hasil akhirnya belum seperti yang diharapkan," tukasnya.

Karena itu, jelas Joyo, reformasi agraria kali ini tidak boleh sekadar dimaknai sebagai proses pemberian tanah semata kepada rakyat miskin. Selain menerima tanah sebagai sumber kesejahteraan, rakyat miskin harus dibukakan akses terhadap sumber-sumber ekonomi lain, seperti modal, teknologi, manajemen, dan pasar. "Ini yang dulu sempat dilupakan," tegasnya.

Bahkan, lahan-lahan yang direncanakan menjadi objek PPAN tersebut tidak hanya sebatas tanah yang dikuasai negara. Tapi, itu juga mencakup tanah yang menjadi objek land reform. "Tanah-tanah ini tersebar di seluruh Indonesia," bebernya. Selain itu, ada juga tanah kawasan hutan produksi yang dapat konversi. "Tanah ini tersebar di 17 provinsi," katanya.

Menurut dia, berdasar hasil kajian potensi obyek reforma agraria yang dilakukan BPN, diperoleh potensi lokasi seluas 9,25 juta hektare. Rinciannya, terdapat areal seluas 8,15 juta hektare di wilayah yang berpenduduk kurang padat dan 1,1 juta hektare pada wilayah berpenduduk padat. "Prosesnya berlangsung mulai 2007 ini dan tuntas pada 2014," tandasnya.

Pembahasan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) itu juga mulai digodok pada 9 April 2007. PP tersebut akan memuat sejumlah hal penting. Di antaranya, penerima manfaat yang mencakup persyaratan, kriteria, urutan prioritas, proses seleksi, dan penetapan.

Joyo mengakui, penentuan kriteria manfaat itu bersifat sangat kritis. Sebab, persoalan itu sangat menentukan tingkat keakuratan atau ketepatan sasaran yang secara langsung akan memengaruhi sukses tidaknya program land reform itu. "Makanya, kriteria ini kami susun secara hati-hati dan mendalam dengan mempertimbangkan berbagai standar kemiskinan yang ada," ujarnya.

Joyo lantas memaparkan, dalam menyusun kriteria penerima manfaat, pemerintah menggunakan pendekatan hak-hak dasar rakyat yang sifatnya universal dan dijamin konstitusi. "Intinya, ada tiga variabel yang kami gunakan," katanya.

Ketiga variabel itu meliputi variabel kependudukan yang akan menjadi kriteria umum, variabel sosial-ekonomi sebagai kriteria khusus, dan variabel penguasaan lahan yang menentukan urutan prioritas.

Selain kriteria penerima, imbuh Joyo, PP mengatur secara detail proses menetapan tanah yang menjadi objek reformasi agraria. Mulai status tanah hingga perolehan tanah. "Tentunya, termasuk juga, mekanisme pelaksanaan dan kelembagaan program land reform," tegasnya.

Lembaga yang berfungsi menetapkan kebijakan, koordinasi dan pengendali program reformasi agrarian akan dibentuk mulai tingkat nasional hingga daerah. Untuk tingkat nasional, disebut Dewan Reforma Agraria Nasional (DRAN) bahwa tingkat provinsi disebut Dewan Reforma Agraria Provinsi (DRAP), dan tingkat kabupaten/kota disebut Dewan Reforma Agraria Kabupaten/Kota (DRAK).

Kabarnya, biaya yang dibutuhkan untuk mendukung program reforma itu Rp 120 triliun. Namun, informasi tersebut dibantah Joyo. "Nggak lah kalau sampai sebesar itu. Kami cukup efisien, kok," katanya. (Priyo Handoko)

Land Reform, Program yang Rawan Konflik

http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=289825

Kamis, 14 Juni 2007,

Indonesia termasuk negara dengan tingkat konflik agraria cukup tinggi. Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN), sampai kini, ada 2.810 kasus pertanahan yang dilaporkan daerah ke kantor BPN.

Bahkan, panitia khusus (pansus) pertanahan DPR periode 1999-2004 sempat merekomendasikan 40 kasus pertanahan kepada BPN untuk diselesaikan. Di antara 40 kasus itu, baru 10 kasus yang berhasil dituntaskan. Sisanya, 30 kasus belum terselesaikan. Mayoritas di antaranya masih tersangkut di pengadilan.

Terkait dengan banyaknya konflik pertanahan tersebut, pemerintah berharap bisa mengintegrasikan penyelesaian sengketa melalui program reforma agraria atau program pembaruan agraria nasional (PPAN). "Makanya, reforma agraria itu bisa disebut program dahsyat," kata anggota Komisi II Agus Condro Prayitno.

Menurut legislator PDIP tersebut, reforma agraria merupakan program pemerintah yang tidak bisa dilaksanakan secara parsial dan setengah-setengah. Bahkan, dia menyebut pelaksanaan reforma agraria itu sangat rumit. Sosialisasi, penentuan objek lahan yang menjadi sasaran land reform, sampai penentuan masyarakat penerima harus dilakukan sangat hati-hati.

Agus menyampaikan, prinsip kehati-hatian tersebut harus menjadi pegangan. Sebab, tanah merupakan persoalan yang sangat sensitif. "Pemerintah harus kembali mendata riwayat tanah objek land reform secara mendetail, sehingga tidak menimbulkan konflik," tegasnya.

Anggota Komisi II Ida Fauziah secara khusus menyoroti kebutuhan anggaran untuk melakukan program reforma agraria tersebut. Dia meminta agar pemerintah merencanakan secara matang dan efisien nilai nominal yang diperlukan. "Konsekuensi ke APBN pasti ada," katanya.

Selain itu, dia menyatakan, PPAN tidak boleh semata-mata menjadi ajang bagi-bagi tanah. Sebab, berdasar pengalaman, model pelaksanaan yang bersifat instan seperti itu tidak akan membawa perbaikan signifikan bagi kesejahteraan masyarakat. "Jadi, harus dibicarakan secara serius mengenai akses ekonomi bagi masyarakat subjek land reform," tegas politikus PKB itu.

Tak jauh berbeda, anggota Komisi II Lena Mariana Mukti menegaskan perlunya kontrol intensif dari pemerintah. Khususnya, terkait dengan banyaknya lahan yang dijual kembali setelah dibagi kepada masyarakat.

Menurut legislator PPP tersebut, kondisi itu terjadi karena tidak matangnya konsep land reform sebelumnya. "Akhirnya, masyarakat merasa lebih untung dengan menjual kembali. Jangan sampai hal itu terulang," ujarnya.

Wakil Ketua Komisi II Priyo Budi Santoso mengaku DPR menyambut positif ikhtiar pemerintah untuk melakukan agenda land reform dan memanfaatkan tanah-tanah telantar dengan memberikannya kepada masyarakat.

Menurut BPN, tanah yang tidak termanfaatkan terdapat di kawasan hutan dan nonhutan. Di kawasan hutan saja diperkirakan terdapat lebih dari 59 juta hektare lahan yang rusak. Di luar kawasan hutan itu, tanah yang tidak termanfaatkan bisa diklasifikasikan menjadi tanah telantar dan tanah berstatus sengketa.

Tanah yang tidak termanfaatkan itu menunjukkan adanya opportunity loss dari kesempatan ekonomi yang sebenarnya bisa diperoleh rakyat. "Hanya, kami ingin ada rambu-rambu yang spesifik. Jangan sampai tugas mulia tersebut menimbulkan kisruh ketika diimplementasikan," ujar legislator Golkar tersebut.

Priyo menekankan pentingnya perencanaan yang matang dari program reforma agraria. Dalam hal ini, tegas dia, DPR akan terus memantau dan mengontrol konsep land reform yang ditawarkan pemerintah. "Ide itu bagus untuk kerakyatan yang membumi," ungkapnya.

Tapi, kata dia, rambu-rambu pelaksanaannya harus jelas dan tidak bias interpretasi. "Jangan sampai ada kesan program itu merupakan kedermawanan pemerintah yang bersifat sementara," katanya. (pri)

Monday, June 18, 2007

Inpres "Policy Matrix"

http://www.kompas.co.id/

Opini
Senin, 18 Juni 2007

Iman Sugema

Setelah secara saksama membaca Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007, kita bisa menyimpulkan, struktur dan formatnya mirip dengan policy matrix yang diajukan pemerintah kepada IMF puluhan kali.

Hal itu mengingatkan saya pada sebuah pembicaraan saat program Dana Moneter Internasional (IMF) akan berakhir. Seorang pejabat tampak amat keberatan dengan akan diputusnya program IMF. Alasannya, salah satu hal positif yang akan hilang adalah tradisi memberikan tenggat pada berbagai kementerian melalui mekanisme policy matrix. Katanya, pejabat kita susah diatur dan didisiplinkan sehingga perlu meminjam tangan "bule" untuk menekan mereka.

Menyalahkan eselon satu

Setelah IMF pergi, ternyata tradisi policy matrix masih dilanjutkan. Bedanya kita kini tidak lagi dimandori IMF. Inpres No 6/2007 merupakan komitmen pemerintah kepada diri sendiri untuk mempercepat pembangunan sektor riil dan pemberdayaan UMKM. Dan, kini mandornya adalah pemerintah sendiri. Terkait inpres itu, ada beberapa hal yang perlu didiskusikan.

Pertama, terbitnya inpres itu dan empat paket kebijakan sebelumnya menguatkan sinyalemen birokrasi pemerintahan amat tidak efektif dan sulit diatur sehingga menimbulkan kesulitan dalam melakukan koordinasi antarkementerian dan lembaga. Sebagian cenderung menyalahkan eselon satu ke bawah yang selalu bekerja secara business as usual. Sebagian lagi cenderung menyalahkan menteri yang tidak berkompeten dan kurang sigap. Sebagian lagi mengkritik presiden yang kurang tegas sebagai sumber utama persoalan. Mana yang benar? Yang jelas, faktanya kita sedang menghadapi sebuah pemerintahan dan birokrasi yang kurang efektif. Atau mungkin semuanya benar?

Kedua, policy matrix IMF sering memuat berbagai program yang satu sama lain tidak nyambung. Sering kali dimuat puluhan sampai ratusan kebijakan yang antara satu dengan lainnya tidak saling terkait. Karena itu, masyarakat dan dunia usaha menyambut secara biasa-biasa saja. Artinya pengumuman tentang policy matrix tidak membawa surprise effect positif. Bahkan, saat realisasinya lambat atau tak terpenuhi, sering menimbulkan reaksi negatif dari pelaku usaha. Tak ayal, kredibilitas pemerintah sering dipertaruhkan dan dunia bisnis tenggelam dalam aura yang skeptis terhadap pemerintah.

Keadaan itu juga terlihat dalam menanggapi inpres ini. Amat sulit menghubungkan tema besar yang diusung dengan butir-butir kebijakan dan langkah yang akan ditempuh. Inpres itu memuat 141 langkah atau janji pemerintah, tetapi tak jelas mana prioritas, mana core kegiatan, dan mana yang substansial. Kesannya, itu hanya kompilasi dari berbagai kementerian dan lembaga pemerintah non-departemen (LPND).

Ironisnya, saat pemerintah ingin mempercepat pembangunan sektor riil dan UMKM, ternyata sektor pertanian, dalam arti luas, dilupakan. Tak satu pun butir inpres itu menyebut kebijakan di sektor ini. Apakah pertanian tidak penting lagi?

Memang pertumbuhan sektor pertanian selalu lambat, di kisaran 2-4 persen, tetapi peran sentralnya dalam menciptakan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan harus disadari. Lebih dari setengah penduduk miskin ada di pedesaan dan pertanian selalu menjadi penyangga bagi penganggur. Selain itu, mayoritas usaha mikro dan kecil kini di sektor pertanian dan perdagangan. Mengapa sektor ini dilupakan dalam inpres itu?

Di lain pihak, inpres itu memuat 60 kebijakan yang dijanjikan untuk diselesaikan Menteri Keuangan dan sebagian besar menyangkut reformasi industri jasa keuangan. Apakah sektor finansial menjadi inti persoalan? Atau terlalu banyakkah pekerjaan Menteri Keuangan dan belum sempat menyelesaikannya?

Urutan yang benar

Ketiga, para ahli ekonomi pembangunan sering mengkritik IMF bahwa lembaga itu membombardir negara berkembang dengan aneka kegiatan yang tak jelas urutannya. Sequencing menjadi isu besar karena amat menentukan tidak efektifnya kebijakan. Seperti membangun rumah yang harus dimulai dengan fondasi dan tiang pancang, kebijakan ekonomi harus dilakukan dengan urutan yang benar.

Dalam Inpres 6/2007, nuansa ketidakteraturan seperti itu tampak jelas. Contoh, dalam lampiran berjudul Perbaikan Iklim Investasi, Menteri Perdagangan diinstruksikan untuk menetapkan kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan sebagai dasar penetapan Daftar Bidang Usaha Tertutup dan yang Terbuka dengan persyaratan. Target output-nya adalah penerbitan perpres pada Juni 2007. Lalu, pada bulan yang sama dikeluarkan perpres tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan yang Terbuka dengan Persyaratan bagi penanam modal. Penanggung jawab pembuatan daftar itu tidak jelas.

Pada butir lain, Menteri Perindustrian diberi tugas menyusun Kebijakan Industri Nasional yang harus selesai bulan Oktober 2007. Pada bulan berikutnya, Menko Perekonomian harus menyelesaikan Kebijakan Umum Penanaman Modal.

Logikanya, kebijakan industri dan kebijakan umum penanaman modal harus diselesaikan lebih dulu sebelum daftar negatif investasi. Daftar bidang usaha yang tertutup harus mengacu kebijakan yang lebih umum. Bukan sebaliknya.

Sebaiknya kita banyak mengambil hikmah dari pengalaman policy matrix bersama IMF. Inpres No 6/2007 merupakan jiplakan policy matrix, tetapi kita gagal mengambil yang baik dan membuang yang buruk. Barangkali kita harus belajar dari Jepang yang selalu menciptakan yang lebih baik dari jiplakannya.

Iman Sugema Pengajar, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Warga Duduki 250 Ha Lahan, PTPN II Akan Mengeceknya

http://www.kompas.co.id/

Sumatera Bagian Utara
Senin, 18 Juni 2007

Deli Serdang, Kompas - Sekitar 300 warga Dusun 6 Namo Serit, Desa Sumbul, Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, menduduki lahan yang selama ini dikelola PT Perkebunan Nusantara II. Warga mengklaim lahan seluas 250 hektar itu merupakan lahan milik mereka yang selama ini dipinjam oleh PTPN II.

"Kami di sini menuntut hak kami yang terampas. Tanah ini adalah tanah leluhur kami. Kami akan duduki tanah ini sampai proses pemindahan hak selesai," kata Ketua Kerapatan Ahli Waris Warga, Pagit Leo Peranginangin, Sabtu (16/6), saat aksi berlangsung.

Pendudukan tersebut dimulai pukul 09.00 di tengah perkebunan. Warga menanami lahan dengan pohon pisang sebagai simbol pendudukan. Di tengah lahan perkebunan itu mereka menyanyi, menggelar tari-tarian, dan membentangkan spanduk bertuliskan kecaman terhadap PTPN II.

Pagit mengatakan, bertahun-tahun warga menuntut hak atas tanah mereka. Namun, warga tertekan oleh tudingan bahwa mereka anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). "Setiap kali kami menuntut hak, kami selalu dituduh sebagai anggota PKI," katanya.

Aksi yang berlangsung damai itu diikuti anak-anak, ibu-ibu, sampai warga yang berusia lanjut. Menurut Pagit, warga memiliki bukti-bukti kuat yang menyatakan tanah yang dikelola PTPN II itu adalah tanah warga. Sejumlah bukti yang dimiliki warga, antara lain, peta tanah, surat peminjaman pemakaian tanah dari warga oleh PTPN IX yang sekarang berubah menjadi PTPN II, dan surat pernyataan warga yang pernah mengelola tanah itu sebelum proses peminjaman.

"Riwayat tanah ini dahulu memang dipinjam perusahaan perkebunan untuk pembukaan tanaman tembakau Deli," katanya.

Kompensasi

Sayangnya, tutur Pagit, proses peminjaman itu tidak dibalas dengan kompensasi dalam bentuk apa pun kepada warga. Pagit menyatakan, warga yang melepaskan tanahnya antara 0,8 hektar sampai 3,25 hektar tidak pernah menerima kompensasi sejak dipinjam PTPN pada tahun 1955.

"Kami akan terus menduduki lahan ini sampai selesai urusannya. Kami sudah menunjuk penasihat hukum untuk membantu kami dalam urusan hukum di pengadilan," kata Pagit.

Salah satu warga setempat, Johanes, mengatakan, selama ini warga hidup dari bercocok tanam di pinggiran lahan yang dikelola PTPN II. Sebagian warga menanam jagung, pisang, dan tanaman lain.

Hubungan Masyarakat PTPN II, Modal Pencawan Perangin- angin, akan mengecek kebenaran pendudukan itu. "Beri saya waktu sampai besok (Senin ini), saya akan cek di kebun mana itu (pendudukan) terjadi. Jika warga terbukti menduduki lahan HGU (hak guna usaha) PTPN II, kami mengharap bagi yang menguasai meninggalkan area itu," kata Modal.

Menurut dia, pendudukan warga ke lahan PTPN II jelas akan merugikan PTPN II sebagai salah satu perusahaan perkebunan badan usaha milik negara (BUMN). Lebih jauh, Modal tidak bersedia memberikan keterangan perihal pendudukan lahan oleh warga. (NDY)

Ketahanan Pangan, Potensi Pertanian Terabaikan

http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/6/18/o3.htm

Oleh I Made Sugianto

KONDISI Bulog yang kelimpungan untuk mendapatkan beras impor menjadi menarik dan menggelitik. Sebab selama lebih dari 10 tahun sejak 1984 Indonesia telah mencapai swasembada beras, sehingga mendapat penghargaan dari FAO-PBB. Sejak itu kebijaksanaan dan program-program pertanian tidak lagi berupa intensifikasi/ektensifikasi tetapi 'diversifikasi' dan pengembangan agrobisnis serta agroindustri. Maka dalam proses pemikiran seluruh bangsa Indonesia termasuk para pakar pada tahapan 'industrialisasi' inilah berbagai pemikiran tentang pertanian seakan terlupakan karena dianggap tidak penting lagi. Pembangunan ekonomi identik dengan industrialisasi dan potensi pertanian terabaikan. Kini betapa Indonesia merasakan dampaknya yakni kesulitan untuk memenuhi ketersediaan pangan nasional.

Berdasarkan Statistik tahun 2003 luas lahan pertanian Indonesia mencapai 53,43 ha, di mana 8,4 juta ha (11,7%) adalah sawah. Melihat potensi yang ada, sesungguhnya Indonesia bisa menjadi negara pengekspor hasil-hasil pertanian dan meraup devisa yang besar dari sektor ini. Kenyataannya sampai saat ini menunjukkan potensi yang besar tersebut belum dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kemajuan bangsa ini. Pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia belum seluruhnya bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri.

Perlu ditekankan bahwa kondisi Bulog kesulitan mendapatkan beras impor pertanda krisis pangan yang berarti pula krisis pertanian di Indonesia. Jelas hal ini menjadi ancaman yang serius bagi kelangsungan pertanian Indonesia. Selama petani dan keluarganya belum sejahtera dan belum mampu keluar dari kemiskinan, selama kurun waktu itu pula pembangunan pertanian bisa dikatakan belum berhasil sehingga secara terus menerus harus ada usaha sungguh-sungguh untuk revitalisasi pertanian Indonesia. Maka pertanian Indonesia harus dibangun kembali, dan satu-satunya jalan keluar adalah membangun kembali pertanian rakyat yang potensinya telah terabaikan selama 20 tahun.

Caranya, Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah perlu memberikan perhatian dan dukungan yang sungguh-sungguh terhadap pembangunan pertanian dan pemberdayaan petani melalui kebijakan berupa proteksi, promosi dan subsidi. Pemerintah juga perlu memberikan subsidi kepada petani. Memang selama ini pemerintah telah memberikan subsidi yang diperuntukkan bagi pembelian sarana produksi khususnya pupuk urea. Namun, sering terungkap dalam pemberitaan bahwa pupuk bersubsidi yang semestinya dinikmati oleh petani kecil, justru kebanyakan nyaplir di lapangan. Pupuk bersubsidi justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan agribisnis yang permodalannya sudah kuat.

Ke depan, pemerintah juga perlu memikirkan sebuah skema subsidi bukan hanya pada penyediaan sarana produksi, tetapi perlu subsidi pada harga jual produk pertanian. Hal ini penting dilakukan sebab saat panen raya yang semestinya petani merasakan untung justru ketiban buntung karena anjloknya harga-harga produksi pertanian. Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah semestinya menganggarkan sejumlah dana untuk mensubsidi harga jual produk pertanian. Jika tidak ada anggaran penyelamatan terhadap pertanian, selamanya pertanian Indonesia akan terpuruk dan berarti pula Indonesia terus dilanda krisis pangan dan tak menutup kemungkinan rakyat Indonesia kelaparan.

Pemerintah sampai saat ini belum mampu menjamin petani mendapat harga jual gabah yang layak dan memadai saat panen raya, walaupun pemerintah telah menetapkan harga dasar gabah. Mesti dipahami jaminan pemerintah berupa anggaran dana yang jelas dan riil merupakan salah satu kunci dan cara sukses untuk mempertahankan dunia pertanian. Caranya melalui insentif harga gabah sehingga petani akan mendapat keuntungan. Pemerintah juga harus berani membeli gabah dari petani. Demikian pula terkait permasalahan pajak, pemerintah seyogyanya mempertimbangkan dan memberi keringanan. Adanya anggaran untuk keringanan pajak merupakan bentuk perhatian dari pemerintah untuk menggairahkan sektor pertanian.

Menghindari krisis pangan diperlukan usaha semua pihak mulai dari pemerintah, peneliti, akademisi, pendidik, pengusaha dan masyarakat umum untuk membangun pertanian secara bersama-sama. Pertanian merupakan usaha lintas sektoral, oleh karena itu pembangunan pertanian ke depan tidak bisa dilakukan melalui pendekatan sektoral semata, tetapi melalui pendekatan lintas sektoral.

Penulis, Sekretaris Sabha Yowana Tabanan

Petani dan Ketahanan Pangan

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0706/16/opini/3604224.htm

Opini
Sabtu, 16 Juni 2007

Agus Pakpahan

Terbebasnya kita dari kelaparan atau kerawanan pangan merupakan salah satu aspek kehidupan yang tak ternilai maknanya. Produksi pangan yang melebihi kebutuhan konsumsi masyarakat merupakan instrumen untuk dapat mencapai kondisi itu.

Impor pangan memang dapat menjadi jalan untuk mengatasi kerawanan pangan dengan asumsi, kita memiliki dana untuk membeli dan pangan itu tersedia di pasar dunia. Namun, pelajaran penting dari negara maju menunjukkan, urusan pemenuhan kebutuhan warganya adalah urusan yang perlu dipenuhi dengan kelimpahan pangan yang mampu mereka hasilkan.

Hasil penelitian Yrjölä dan Kola (2004) menunjukkan, nilai rata-rata willingness to pay (WTP) untuk ketahanan pangan bangsa Finlandia adalah € 93,81 per kapita. Andaikan penduduk Indonesia bersedia membayar 25 persen dari WTP penduduk Finlandia, maka akan diperoleh nilai WTP per kapita di Indonesia sebesar € 23,4. Nilai WTP untuk mendapat ketahanan pangan yang kuat dengan jumlah angkatan kerja 106 juta (BPS, 2006) akan dicapai nilai WTP senilai € 2,48 milyar atau sekitar Rp 29,7 triliun. Nilai ini kurang lebih setara dengan 27 persen dari nilai gabah 55 juta ton dengan harga rata-rata Rp 2000/kg.

Nilai itu secara kasar dapat diartikan sebagai biaya tambahan yang konsumen keluarkan untuk mendapatkan ketahanan pangan yang memadai. Namun, nilai ini tidak dikeluarkan di Indonesia. Sedangkan dukungan negara untuk pertanian oleh negara-negara OECD tahun 1999-2001 rata-rata 248,3 milyar dollar AS per tahun..

Gambaran itu memberi makna, ketahanan pangan di negara-negara maju dipandang sebagai public good. Karena itu, dibalik arti subsidi pertanian di negara-negara maju sebenarnya merupakan belanja publik untuk mendapat dan menjaga ketahanan pangan mereka dalam bentuk kelimpahan. Gandum atau beras merupakan komoditas privat di mana pasar merupakan instrumen untuk mengalokasikannya. Namun, hal itu berbeda dengan ketahanan pangan yang sifatnya nonfisik, tetapi sebagai kondisi nasional yang harus diwujudkan dalam rangka menghindari risiko dan ketidakpastian akan kondisi yang harus dicegah, yaitu kelaparan atau rawan pangan.

Bumerang

Peningkatan produksi pangan primer dapat menjadi bumerang bagi petani yang menghasilkannya. Hal ini terkait sifat komoditas pertanian primer, yaitu menghadapi permintaan pasar yang tidak elastis terhadap perubahan harga dan pendapatan. Sifat pasar demikian akan membuat pendapatan petani menurun jika harganya menurun, berbeda terbalik dengan komoditas yang sifatnya elastik.

Selanjutnya, proporsi peningkatan pendapatan yang dibelanjakan konsumen untuk pangan pokok adalah lebih rendah dari proporsi peningkatan pendapatan konsumen (Hukum Engle). Karakter inilah yang menciptakan arah berlawanan antara sasaran peningkatan produksi pangan dan peningkatan kesejahteraan petani jika pasar komoditas pangan pokok dengan karakter di atas tidak dikelola dengan baik.

Ukuran paling sederhana adalah meningkatnya jumlah petani gurem (kurang dari 0,5 ha/rumah tangga tani) dari 40,78 persen (1983) menjadi 53,29 persen (2003, meningkat 12,51 persen) (Hasil Sensus Pertanian, BPS). Total rumah tangga gurem tahun 2003 adalah 13,25 juta dari total rumah tangga pertanian 24,86 juta rumah tangga. Kenyataan ini berbeda dengan kecenderungan di negara maju. Sebagai gambaran, luas lahan pertanian per petani di negara maju tahun 1989-1991 rata-rata 29,9 ha, meningkat menjadi 37,6 ha tahun 1998-2000 (FAO). Kecenderungan ini juga terjadi di Thailand dan Malaysia.

Dengan meningkatnya petani gurem, kemampuan membangun pertanian juga melemah. Hal ini diperlihatkan data pertumbuhan produksi padi Indonesia. Data BPS menunjukkan, pertumbuhan produksi padi tahun 2003, 2005, dan 2006 masing-masing 1,26 persen, 0,12 persen, dan 0,46 persen. Bahkan, angka ramalan I BPS untuk tahun 2007 menunjukkan, produksi padi akan mengalami penurunan 2,3 persen. Padahal, subsidi dan alokasi pupuk bersubsidi telah meningkat.

Lebih jauh Fuglie (2004) menunjukkan, Total Factor Productivity (TFP) menurun dari 2,6 persen (tahun 1968-1992) menjadi -0,1 persen (1993-2000), sedangkan pertumbuhan produksi padi/populasi menurun dari 3,7 persen/tahun menjadi -0,3 persen/tahun untuk tiap periode itu.

Informasi itu menunjukkan, kita perlu mencari dan menerapkan cara baru untuk mampu meningkatkan kapasitas dan produksi nyata pangan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.

Jika sawah dipandang sebagai pemasok industri pangan, energi listrik, bahan baku industri turunan dari beras seperti bekatul, tepung, dan abu sekam, misalnya, maka potensi nilainya menjadi kurang-lebih Rp 1 triliun per 10.000 ha sawah. Investasi yang diperlukan untuk membangun industri terpadu berbasis padi ini sekitar Rp 400 miliar-Rp 450 miliar untuk skala pabrik pengolahan beras 500 ton gabah/hari dengan power plant dan industri lain yang bahan bakunya dipasok industri pengolahan itu. Dengan model ini, pendapatan petani bisa mencapai lebih dari Rp 2 juta/ha/bulan.

Pesan utama artikel ini, tidak mungkin kita mendapat ketahanan pangan yang tinggi jika petaninya tidak sejahtera. Karena itu, diperlukan transformasi pertanian yang harus memiliki energi yang kuat, yang dapat mengurangi petani gurem dengan menciptakan lapangan kerja dan kesempatan memperoleh pendapatan baru.

Potensi untuk itu tersedia lebih dari cukup. Kini, tinggal bagaimana mewujudkan institusi usaha yang mampu memanfaatkan dan me-leverage potensi itu menjadi kenyataan. Dasarnya adalah perlunya kebijaksanaan yang terfokus untuk menangkap peluang ini.

Agus Pakpahan Ketua Badan Eksekutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia

Sunday, June 17, 2007

Petisi Terbuka Kepada Presiden RI dan Kepala BPN RI


Pada tanggal 5-7 Juni 2007 yang lalu, kami yang terdiri dari Serikat Tani, Serikat Buruh, Kaum Miskin Kota, dan NGO di Jawa Tengah, dan tergabung dalam Kelompok Kerja Jaring Demokrasi Jawa Tengah (KKJD Jawa Tengah) mengadakan sebuah pertemuan yang bertajuk “Konsolidasi Demokrasi”.

Dalam pertemuan tersebut, ada dua hal yang dibahas secara mendalam:
  1. UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal
  2. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Reforma Agraria.

I.
Kami menilai bahwa UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal sangat merugikan dan melukai hati rakyat khususnya kalangan petani, buruh, dan kaum miskin lainnya di Indonesia.
Kami melihat bahwa UU ini sangat berpotensi menggusur nilai-nilai kebangsaan kita secara keseluruhan sebab UU ini mencerminkan sebuah bentuk penjajahan baru yang sangat halus tetapi menjerat kehidupan kebangsaan kita.

Kami mengambil sikap untuk mendukung sepenuhnya upaya-upaya kelompok masyarakat demokratis lain dalam melakukan Judicial Review untuk mencabut UU ini. Bahkan secara tegas, kami menuntut pemerintah untuk segera mencabut UU Penanaman Modal ini sebagai upaya penyelamatan kedaulatan bangsa dan upaya membendung kekuatan anti nasional-demokrasi.

II.
Selanjutnya mengenai Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Kami mengajukan protes keras terhadap draft Peraturan Pemerintah (PP) ini karena:

  1. Pemerintah tidak melibatkan organisasi rakyat dalam identifikasi objek dan subjek reforma agraria seperti tercantum dalam draft PP tersebut. Padahal, Reforma Agraria yang berhasil harus melibatkan peran serta Organisasi Rakyat.
  2. Pemerintah menentukan secara sepihak siapa-siapa penerima manfaat dan dalam subjek individu. Padahal, Serikat Tani memiliki peran yang sangat vital dalam setiap organisasi tani. Mereka harus dilibatkan sehingga pelaksanaan Reforma Agraria ini bisa diarahkan dalam bentuk-bentuk kepemilikan asset bersama seperti koperasi milik petani dan desa. Dengan demikian, dapat mencegah terjadinya pengalihan tanah-tanah objek Reforma Agraria kepada pengusaha dalam bentuk penjualan aset.
  3. Pemerintah tidak menunjukkan iktikad baik dalam menyelesaikan konflik-konflik agraria. Semestinya tanah-tanah sengketa yang jumlahnya mencapai lebih dari 1000 kasus ini merupakan bagian penting dari redistribusi.

Oleh Sebab itu, kami menuntut:

  1. Cabut Undang-Undang No 25/2007 tentang Penanaman Modal.
  2. Pembahasan PP Pembaruan Agraria dan PPAN haruslah melibatkan serikat tani. Serikat-serikat yang dimaksud adalah serikat yang selama ini berjuang dalam pembaruan agraria.
  3. Libatkan pula Serikat Tani dalam Identifikasi Objek dan Subjek di dalam program PPAN dan tercantum jelas dalam PP tentang Pembaruan Agraria.

Demikian Petisi Terbuka ini diajukan untuk menjadikan perhatian.

Kelompok Kerja Jaring Demokrasi (KKJD) Jawa Tengah :

FPPB Batang, FPPP Pekalongan, SITA Batang, SPP Temanggung, FPPK Kendal, PPKP Sulbar, Lidah Tani Blora, ORTAJA, JATIROGO, Serikat Petani Pasundan, Petani Mandiri Jakarta, Aliansi Buruh Yogya, FSPTG, YAWAS, Taring Padi, Soeketteki Semarang, Sanggar Shakuntala, FPPI Jateng, SMI Jateng, FPPI DIY, SMI DIY, Gerakan Kaum Jalanan Merdeka,
PERDIKAN Yogyakarta, SPPQT Salatiga, Serikat Tani Merdeka DIY, STN Jateng, DPD I Papernas Jateng, YAPHI Solo, YAPHI Kudus, YAPHI Purworejo, LBH Semarang, Yayasan Alur Batang, Percik Salatiga, LPRKROB Batang, Pewarta DIY, LSM Jangkeb DIY, PPR DPP DIY, Uplink DIY, Pergerakan Indonesia DIY,KPU Batang, Agrarian Resource Centre Bandung, Bandung, KPA, Pergerakan Bandung, LARAS Batang, Demos Jakarta

[Wawancara] Permasalahan Mendasar Petani Tidak Diselesaikan oleh Pemerintah

PERSPEKTIF BARU Edisi 392 - 13 September 2003

Perspektif Baru:

Asalamu’alaikum Warrahmullahi Wabarakatuh, kita bertemu kembali dalam Perspektif Baru. Alam, beberap hari belakangan ini, belahan Jawa dan sebagian wilayah Indonesia lainnya sudah merasakan hujan kembali. Tapi ini adalah merupakan hujan pertama setelah sekian bulan lamanya kita mengalami kekeringan. Tentu anda menebak-nebak kenapa saya berbicara mengenai hujan, persoalannya adalah selama hujan belum turun maka kekeringan yang terjadi menyebabkan petani-petani kita mengalami keresahan.

Di beberapa wilayah di Jawa Tengah, Jawa Timur atau beberapa daerah di Indonesia itu betul-betul mengalami kekurangan air. Panen menjadi gagal kemudian proses pertanian menjadi sangat terganggu. Sayang, perhatian pemerintah untuk persoalan ini sangat kecil. Persoalan ini merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan yang dihadapi oleh para petani Indonesia. Padahal kita tahu bahwa petani kesulitan untuk memperoleh bibit, pupuk, akses terhadap pasar, dan kemampuan teknologi yang rendah. Belum lagi keberpihakan terhadap petani, misalnya pemberian subsidi dan kebijakan ekonomi secara umum, yang belum terlihat.

Kali ini, kita memberikan pencerahan mengenai betapa pentingnya eksistensi petani. Karena tanpa petani, pilar ekonomi bangsa ini tidak akan cukup kuat. Saya akan mengajak anda untuk berbincang dengan Donny Pradana. Dia adalah Ketua Serikat Tani Nasional (STN), sebuah organisasi yang memperjuangkan hak-hak petani kemudian berupaya memberikan pemberdayaan, serta penguatan terhadap masyarakat tani. Di Perspektif Baru bersama sahabat anda Ruddy K Gobel

Donny, saya ingin memulai dengan pertanyaan yang sangat mendasar. Apa persoalan utama dari sekian banyak persoalan yang ada di pertanian kita?

Persoalan utama pertanian di Indonesia adalah persoalan ketidaktersediaan tanah yang cukup, ketidaktersediaan teknologi dan minimnya modal yang masuk di sektor pertanian. Tiga hal penting tadi kemudian menjadi landasan bahwa kesejahteraan petani, masyarakat desa tidak akan pernah bisa tercapai. Alih teknologi, proses akumulasi modal, semuanya terkonsentrasi di perkotaan-perkotaan besar. Terjadi kesenjangan, yang beberapa ahli sempat kemukakan tentang kesenjangan desa dan kota. Kemudian berimplikasi pada urbanisasi yang semakin lama semakin meningkat. Proses produksi pedesaan semakin lama semakin ditinggalkan sehingga pada akibatnya seperti saat ini. Pertanian tidak pernah berkembang sebagaimana mestinya sehingga menciptakan ketergantungan-ketergantungan kepada produksi-produksi pertanian asing. Tidak bisa diciptakan swasembada, tidak bisa diciptakan ketahanan pangan dalam negeri. Ketiga pokok persoalan tadi tidak diselesaikan secara mendasar oleh siapapun yang berkuasa; baik pemerintah masa sekarang maupun masa-masa yang lalu.

Sungguh ironis, padahal dari dulu kita selalu mengklaim Indonesia adalah negara agraris. Dan kalau dilihat, negara kita adalah negara yang memiliki wilayah yang luas. Kenapa masalah ini dari dulu tidak pernah terselesaikan? Kita tidak usah bicara tentang ketidaktersediaan tekhnologi dan modal, tapi secara khusus ketidaktersediann lahan?

Ya menarik memang, karena kebijakan pembangunan sejak jaman orde baru seperti itu. Tidak menyandarkan dan tidak melandaskan kepada pembangunan pertanian. Okelah, kalau beberapa waktu yang lalu kita sempat baca tentang tujuan Repelita I sampai V dimana tertulis disitu bahwa pokok pembangunannya adalah sektor pertanian. Tetapi dalam kenyataan lapangan, tidak terjadi. Tidak pernah ada manifestasi terhadap kebijakan-kebijakan itu. Semuanya selalu berputar, termasuk modal dan teknologi, di kota besar. Apalagi soal kepemilikan lahan. Paska orde baru ada persoalan baru yang sedemikian eksesif, dalam arti bahwa kepemilikan lahan yang selama ini dikuasai oleh masyarakat atau rakyat banyak dicaplok, disita, diambil alih oleh negara demi pembangunan. Tapi justru kemudian hasil-hasil pengolahan lahan produktif tersebut tidak pernah untuk rakyat sekitarnya, Justru masuk ke segelintir kalangan elit dan masyarakat perkotaan belaka.

Masalah lahan atau tanah rupanya begitu rumit dan begitu sulit. Saya juga masih ingat persis ketika kita belajar tentang Repelita dimana berbicara tentang titik pokok pembangunan adalah pada sektor pertanian. Juga kemudian menitikberatkan pada swasembada. Saya ingin mengkonfirmasikan kepada anda, benarkan Indonesia pernah mengalami swasembada pangan?

Ya memang pada awal-awal Soeharto atau rezim orde baru mengenalkan tentang revolusi hijau. Dalam hal ini manifestasi dan implementasi di lapangan dilakukan dalam bentuk intensifikasi pertanian. Bagaimana memaksimalkan produksi pertanian pada lahan-lahan sempit, misalkan dengan cara intensif memberikan pupuk, memberikan bibit- bibit hibrida, pengembangan teknologi pada beberapa macam varietas-varietas tahan hama atau wereng.

Pada 1-2 tahun cukup berhasil memang. Bahkan tahun 80-an Indonesia pernah dianugerahi oleh FAO sebagai negara yang cukup sukses dalam swasembada pangan, tetapi dampak dan implikasi revolusi hijau baru akan dirasakan 10 kemudian. Lahan menjadi tidak efektif dan jenuh terhadap kecenderungan pupuk dan lainnya. Pupuk yang dipakai pupuk kimia bukan organik. Kandungan unsur hara tanah makin lama makin turun. Akhirnya , dosis penggunaan pupuk semakin lama semakin meningkat dan varietas tahan hama atau tahan wereng semakin lama harus semakin diperbaharui. Karena resistensi hama penyakit setelah dibasmi pestisida semakin lama semakin kuat, karena berevolusi. Tahun-tahun pasca revolusi hijau sangat merugikan perani. Biaya yang dikeluarkan petani untuk pengelolaan menjadi lebih besar, hasil yang mereka dapatkan juga tidak setimpal. Ini membuktikan skenario revolusi hijau sangat tidak populis baik pada masyarakat pedesaan secara umum ataupun dalam konsepsi ekologi (lingkungan). Konsepsi pertanian yang mempertahankan dan melanjutkan lingkungan secara alami.

Apakah proses pembangunan ekonomi yang selama ini yang banyak menitikberatkan pada kota dan industri besar merupakan salah satu faktor terserapnya sumber daya dan dana yang ada di pertanian ke industri?

Pada prinsipnya adalah salah kalau kita menolak industrialisasi, pertanian tetap harus dimajukan dalam format industrialisasi pertanian. Tapi konsepsi industrialisasi pertanian bukan lantas dimaknai dengan industrialisasi seperti sekarang yang diemban oleh MOSANTO atau PT Lonsum. Model demikian tidak membuka peluang partisipasi warga dan masyarakat desa dalam industrialisasi. Pembangunan industri pedesaan harus dilihat sebagi suatu skenario besar , bagaimana tanah dikuasai dan diakses langsung oleh masyarakat desa. Kemudian teknologi dikuasai dan dapat diakses langsung sehingga pengelolaannya dilakukan sendiri oleh masyarakat desa. Kemudian pengelolaan-pengelolaan industri pertanian tersebut tetap harus membutuhkan satu skenario bahwa industrialisasi dan modernisasi ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan di kota. Jadi pada era mendatang industrialisasi pertanian sudah tidak lagi berupa dikotomi antara desa dan kota. Proses industrialisasi di desa sektor pertanian yang meningkatkan masyarakat di desa justru diharapkan harus mampu memaksimalkan tenaga produktif di desa. Jika ini bisa dijawab tidak akan ada lagi persoalan-persoalan tentang urbanisasi atau persoalan bagaimana masyarakat desa berlomba-lomba mencari pekerjaan di kota. Karena di desa sendiri menciptakan lapangan pekerjaan, menciptakan industrialisasi sendiri, menciptakan kotanya sendiri, dan menciptakan lapangan pekerjaan, teknologi, modalnya demi keberlansungan desa itu sendiri.

Menyerahkan akses atau kepemilikan tanah pada masyarakat dan menyerahkan akses modal juga kepada mereka dan juga pengelolaan teknologi, ini satu ide yang sangat bagus. Tapi teknisnya seperti apa? Tidak mungkin satu kelompok, satu industri atau pemerintah menyerahkan begitu saja. Mekanisme apa yang bisa dilakukan?

Jawabannya hanya satu, bahwa segera dibangun organisasi-organisasi petani, atau secara lebih luas adalah dewan masyarakat lokal. Apakah dewan masyarakat desa A, atau desa B yang semuanya mempunyai fungsi-fungsi eksekutif dan legislatif secara ekonomi politik di teritorialnya masing-masing. Legislatif untuk mengakomodasi partisipasi warga, misalnya dalam pengambilan suatu kebijakan atau keputusan di daerah tersebut. Eksekutif dalam makna mereka tidak hanya berpikir tentang bagaimana membuat aturan-aturan di desa atau di teritori tersebut. Tapi juga bersama-sama melibatkan seluruh masyarakat mewujudkan dan mengemban manivestasi dan implementasi dari kebijakan-kebijakan tersebut. Pemikir sekaligus pelaku. Dewan masyarakat harus berfungsi seperti itu. Maka mulai dari teknologi, modal, sumber daya semuanya dikelola secara bagus oleh dewan masyarakat desa ini, demi mencapai kemajuan bersama masyarakat desa. Sebenarnya konsepsi ini tidak semua baru, sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu dikembangkan oleh nenek moyang kita atau masyarakat adat di beberapa propinsi seperti Sulawesi Tengah atau di Papua. Konsepsi-konsepsi dewan masyarakat adat ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan dewan masyarakat desa, bahwa kemudian pengelolaan suatu sumber daya di satu teritorial wilayah desa, kampung atau apapun, dibicarakan secara bersama-sama rembukan, atau ririungan. Musyawarah desa menghasilkan suatu keputusan konstruktif demi perkembangan dan kemajuan desa.

Kalau begitu peran pemerintah apa? Padahal kita tahu pemerintah sekarang sedang melakukan desentralisasi artinya berusaha untuk memindahkan sumber-sumber daya kembali ke daerah. Dan kita tahu, di daerah-daerah dinas pertanian proyeknya cukup banyak. Kita juga mengenal mekanisme pengumpulan dana dan pengerahan pemberdayaan masyarakat melalui koperasi, bagaimana peran kedua hal ini?

Yang pertama harus ada good will dari pemerintah. Betul-betul menempatkan pembangunan bidang pertanian ini sebagai prioritas utama Indonesia untuk keluar dari krisis. Saya pikir itu yang sampai sekarang belum tercetus dan belum ada pada skenario pemerintah. Ternyata ide pembangunan untuk pertanian hanya sebatas lip service. Sebatas tertulis pada perundangan atau rencana-rencana pembangunan jangka panjang dan tidak termanifestasikan dalam bentuk yang konkrit. Bentuk kontriknya adalah semaksimal mungkin pemerintah harus menjadi fasilitator untuk masuknya teknologi pada masyarakat desa, masuknya modal kepada masyarakat desa dan ini harus punya akuntabilitas publik harus bertanggungjawab pada publik. Dihindari proses korupsi, kolusi dan nepotisme tentunya.

Kemudian redistribusi ulang tanah, kepemilikan lahan di desa bahkan kalau perlu tidak ada kepemilikan individu terhadap satu lahan. Kepemilikan lahan dikelola secara bersama-sama secara kolektif dalam format industrialisasi pertanian kolektif. Di desa bisa menyerap banyak sekali tenaga kerja, tanah-tanah yang 1/4 hektar dimiliki setiap petani kalau dikumpulkan akan menjadi tanah yang luar biasa luasnya dan akan maksimal hasilnya jika tanahnya lebih luas, teknologinya lebih maju, modalnya cukup. Saya yakin ini akan meningkatkan produktivitas masyarakat desa. Masalah kedua adalah soal peran lembaga pemerintahan, selama ini konsepsi idealnya seperti yang saya katakan tadi, tapi pelaksanaan di lapangan ternyata tidak. Mereka ternyata hanya sekedar mengurusi hal yang sifatnya teknis belaka, misalnya penyuluhan pertanian lapangan. Mereka hanya membantu dalam tatanan yang sangat kurang cukup bagi masyarakat desa seperti bagaimana menanam cabe yang baik, mengatasi kekeringan dengan membuat pompa-pompa air jadi hanya hal-hal yang teknis. Sebenarnya fungsinya akan lebih strategis jika lebih jauh dari itu. Sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah, seharusnya bisa mengajak seluruh masyarakat untuk berembuk bersama dan berdiskusi tentang apa saja yang bisa dilakukan oleh masyarakat di desa itu secara bersama-sama. Lebih sebagai fasilitator, karena eksekutor dan pelaksana lapangan adalah masyarakat itu sendiri. Ketika mereka melakukan apa yang dianggap mereka baik untuk pembangunan ekonomi masyarakat desa, harus diyakini oleh masyarakat bahwa ini harus dikerjakan secara bersama-sama.

Saya ingin coba gali kembali tentang ide redistribusi tanah. Karena tanah secara administratif maupun secara teknis sangat sulit. Kita tahu kasus sengketa tanah, kepemilikan ganda dan lainnya. Secara administratif ini bagaimana caranya, mekanisme cara apa yang bisa dilakukan dengan biaya yang sedikit tapi hasil yang efektif?

Sekali lagi ini seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah. Melaksanakan apa yang sering disebut aktivis petani soal land reform. Land reform sendiri sudah mempunyai landasan hukum sejak tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, dimana antara pasal 1 sampai pasal 13 sebenarnya disebutkan tanah harus mempunyai fungsi sosial. Tanah tidak bisa dimiliki, atau katakanlah, tanah tidak bisa berfungsi sebagai komoditas, tapi harus berfungsi sebagai fungsi sosial dengan memperhatikan kehidupan objektif masyarakat sekitar. Seharusnya harus berpijak pada landasan hukum tersebut (Undang-undang pokok agraria tahun 1960). Tetapi kami rasa, pasca orde baru sampai sekarang tidak pernah ada niatan pemerintah untuk betul-betul melaksanakan Undang-undang tersebut.

Kalau mau ditelaah lebih lanjut, persoalan agraria ini tidak selalu persoalan pertanian dan tanah, juga menyangkut tentang kehutanan, sumber daya mineral yang dikandung di dalam tanah dan menyangkut juga sumber air, jadi sangat luas. Dalam satu hal, tuntutan yang selalu kita desakkan pada pemerintah adalah segera kembali pada undang-undang pokok agraria. Segera kembali pada land reform yang sejati. Kita belajar pada tahun 40 - 50an bahwa waktu itu pelaksanaan land reform bisa dilakukan karena pemerintah punya itikad baik untuk mendirikan Panitia Land Reform Daerah. Pemilik-pemilik tanah yang mempunyai tanah tapi tidak punya fungsi sosial dan kepekaan sosial, dengan aturan panitia land reform daerah, lalu diredistribusi supaya tanah tersebut bisa berdaya guna bagi kesejahteraan masyarakat yang lebih luas.

Waktu itu, secara kesejarahan cukup banyak hal yang menghambat dalam pelaksanaan land reform. Di satu sisi dianggap sebagai upaya Partai Komunis Indonesia, tapi di satu sisi adalah keharusan sejarah. Karena dimanapun negara-negara Eropa ataupun Asia, bahkan Amerika dan Australia selalu berangkat dari land reform. Selalu berangkat dari redistribusi tanah yang adil dan merata bagi masyarakatnya. Pengalaman Jepang pasca tahun 1945 setelah dikalahkan sekutu, pemerintahan harus membangun kembali Jepang, untuk melaksanakan land reform harus dikawal tentara sekutu. Oleh karena itu tidak bisa dibuat suatu dikotomi bahwa land reform adalah produknya komunis atau sosialis. Kapitalisme juga berkepentingan pada land reform. Justru, dengan pembangunan basis industri yang lebih maju di desa maupun dikota harus dilandasi dengan pelaksanaan land reform lebih dahulu.

Ada pendapat yang mengatakan, bahwa petani Indonesia itu kurang produktif dibandingkan dengan negara lain, negara yang sektor pertaniaannya sudah maju. Apakah pernyataan itu benar dan kalaupun benar kelemahan secara individu dari petani-petani kita?

Jawabannya ada pada tiga hal yang tidak pernah bisa dipenuhi oleh pemerintahan kita demi kesejahteraan petani (yakni tanah, modal dan teknologi). Terkait dengan pembangunan oleh negara-negara lain di luar Indonesia, sangat berjenjamg. Eropa, Amerika dan lainnya justru disuplai besar-besaran subsidi pertaniannya oleh pemerintah. Bahkan di Amerika sendiri hampir 112 % alokasi pendanaanya untuk subsidi bidang pertanian. Sementara di Indonesia sendiri kita melihat justru subsidinya semakin lama semakin berkurang. Misalnya, pupuk yang semakin lama semakin mahal, harga gabah yang semakin lama justru makin murah. Semuanya dalam skenario neo liberalisme yang dimaui oleh pemerintah. Subsidi dianggap menghambat, menghambat efisiensi dan menjadi tidak adil untuk perekonomian. Apalagi dalam suatu skenario ekonomi global, WTO memang ada aturan dimana perspektif pertanian Indonesia dan negara-negara berkembang betul-betul dimatikan. Apalagi kebijakan-kebijakan perjanjian itu sangat tidak menguntungkan bagi petani Indonesia. Dan ini menjadi repot, sekitar tgl 9 - 14 September ini di Cancun - Mexico ada pertemuan tingkat menteri yang membahas tentang WTO produk pertanian. Pertanian negara dunia ketiga sama sekali tidak dibicarakan di situ, dianggap sudah bisa dikooptasi secara menyeluruh oleh WTO sebagai organisasi perdagangan dunia. Maka dalam kesempatan ini, satu poin yang kita sama-sama bersepakat kita dari Serikat Tani Nasional (STN) maupaun kelompok tani yang lain bersepakat untuk produk pertanian keluar dari WTO. Agriculture harus keluar dari perundang-undangan ataupun kesepakatan-kesepakatan dari WTO.

Agak sulit jika berbicara pada tingkat kebijakan. Kita tidak tahu pemerintah agendanya apa dan selama ini keperdulian terhadap petani juga kurang sekali. Yang ingin saya minta pada Danny untuk memberikan suatu pemahaman pemberdayaan pada masyarakat diluar dari kebijakan. Karena merubah suatu kebijakan butuh perjuangan yang luar biasa. Meskipun secara umum kebijkannya belum menguntungkan, tapi minimal untuk menjadikan petani kita lebih produktif.

Saran saya, bangunlah kemandirian ekonomi petani. Dalam arti beberapa hal yang sudah kita coba ujikan dibeberapa basis atau beberapa konstituen kami adalah mencoba menghubungkan secara langsung antara petani dan konsumennya. Misalkan petani bisa memproduksi sayur mayur dengan prasyarat setelah ada kelompok tani atau organisasi petani, dimana selain mengkritisi soal kebijakan tapi juga pada devisi dana usahanya membangun koperasi. Lalu koperasi ini menjadi sentral distribusi sayur mayur, misalnya dari petani setempat kemudian didistribusikan pada konsumen langsung. Kita memanfaatkan jaringan sendiri, baik itu dengan jaringan teman-teman petani atau NGO diperkotaan atau yang berbasis konstituen buruh . Di perkampungan buruh mereka juga memiliki divisi dana usaha yang serupa dan kita lansgung hubungkan antara apa yang dihasilkan petani dengan pemenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat perkotaan.

Jalur distribusi lama, setelah dari petani, ke pengumpul, ke tengkulak, lalu ke agen besar , ke pasar, kemudian ke pedagang kecil. Jalur distribusi ala kapitalisme yang berbelit-belit ini yang akan kita potong, ini menjadi satu pelajaran berharga bagi kita bahwa sebenarnya kita tidak memerlukan jalur distribusi seperti itu. Yang untung orang-orang yang tidak bekerja sebagaimana mestinya.

BOX KETERANGAN RUTIN

PERSPEKTIF BARU khusus untuk media cetak dan Radio (Global FM Bali, Prima FM Banda Aceh, dan Jaringan Radio KBR 68 H, Maya Pesona FM Mataram, Andika FM Kediri, DPFM Palembang, Pahla Budi Sakti Serang, Gita Lestari Bitung, Poliyama FM Gorontalo, Mustika FM Banjarmasin, Bravo FM Palangkaraya, Gemaya FM Balikpapan, Lesitta FM Bengkulu, Zoo FM Batam, Star Radio Tangerang, Gema Mahasiswa FM Purwokerto, Andalas FM Lampung)

Produk lain : Live Talk Show di panggung, Talk Show Radio.TV, buku, merchandise

PERSPEKTIF ONLINE http://www.perspektif.net.E-mail:perspektif@attglobal.net dan Yayasan@perspektif.net

Hak cipta pada InterMatrix, fax. (021) 722-9994, telp. (021) 727-900-28/29/30/31

PO. Box 4320, KBY JKT 12042

Saturday, June 16, 2007

Tentang Serikat Tani Nasional


Serikat Tani Nasional [STN] didirikan dalam Kongres I pada 12 Nopember 1993 di Bantul, Yogyakarta dan ditetapkan kembali dalam Kongres II yang dilaksanakan pada tanggal 25 Juni 1999 di Sleman, Yogyakarta. STN adalah organisasi massa tani yang bersifat Nasional, Terbuka, Legal, Progresif dan Kerakyatan. Lewat Kongres III 21 April 2003 dan Kongres IV 2 April 2006 kembali dikukuhkan dasar-dasar perjuangan STN dan prinsip organisasinya.

Program Perjuangan STN adalah Memimpin perjuangan kaum tani bagi terselenggaranya REFORMA AGRARIA SEJATI dengan sokongan GERAKAN RAKYAT. Refotma agraria sejati adalah menjaminkan TANAH, MODAL, TEKNOLOGI yang MODERN, MURAH, MASSAL untuk PERTANIAN USAHA BERSAMA/KOLEKTIF di bawah DEWAN RAKYAT/TANI untuk kalangan buruh tani dan petani miskin dengan,

Pertama, memperluas wilayah kelola rakyat dengan mengadilkan penguasaan sumber agraria [tanah dan kekayaan alam yang dikandung di dalamnya] pada buruh tani dan petani miskin sebagai dasar pelaksanaan satuan-satuan usaha bersama produksi pertanian.

Kedua, mengupayakan adanya kredit usaha [modal produksi], sarana produksi pertanian [pupuk, bibit, penanggulangan hama terpadu], irigasi/pengairan yang murah, tersedia dan tidak merusak lingkungan serta mengadakan penyuluhan-penyuluhan pertanian untuk membantu para petani memecahkan masalah-masalah teknis yang di hadapinya.

Ketiga, mempromosikan perlindungan perdagangan hasil produksi agar tercipta pasar adil dengan menjauhkan para tengkulak dari kaum tani, menghapuskan sistem riba/ijon/tebas dan sistem sewa tanah dalam usaha pertanian.

Jaringan Daerah :
  1. Komite Persiapan Kabupaten STN Deli Serdang.
  2. Kelompok Tani Kemenyan Kab. Humbang Hasundutan.
  3. Forum Petani Nagori Mariah Hombang Kab. Simalungun.
  4. Kelompok Tani Raptama, Bandar Betsy Kab. Simalungun.
  5. Kelompok Tani Bersatu Kab. Labuhan Batu.
  6. Gerakan Pemuda Bersatu Kab. Labuhan Batu.
  7. Klpk Tani Torang Jaya Mandiri Kab. Tapanuli Selatan.
  8. Serikat Tani Riau/KP2TR2 Kab. Kampar.
  9. Serikat Tani Riau/KP2TR2 Kab. Pelalawan.
  10. Serikat Tani Riau/KP2TR2 Kab. Bengkalis.
  11. Serikat Tani Riau/KP2TR2 Kab. Siak.
  12. Grkn. Suku Anak Dalam 113 S. Bahar Kab Batanghari.
  13. Grkn. Suku Anak Dalam 113 S. Bahar Kab Muaro Jambi.
  14. Komite Persiapan Kabupaten STN Lampung Selatan.
  15. Komite Persiapan Kabupaten STN Karawang.
  16. Komite Persiapan kabupaten STN Sumedang.
  17. Komite Persiapan kabupaten STN Garut.
  18. Komite Persiapan Kabupaten STN Semarang.
  19. Komite Persiapan kabupaten STN Magelang.
  20. Forum Petani Klaten.
  21. Komite Persiapan Kabupaten STN Kebumen.
  22. Komite Persiapan Kabupaten STN Temanggung.
  23. Serikat Tani Suromenggolo Ponorogo.
  24. Komite Persiapan Kabupaten STN Bondowoso.
  25. Komite Persiapan Kabupaten STN Jember.
  26. Komite Persiapan Kabupaten STN Lamongan.
  27. Laskar Perjuangan Pemuda Ronggolawe Tuban.
  28. Komite Persiapan Kabupaten STN Lombok Tengah.
  29. Komite Persiapan Kabupaten STN Lombok Timur.
  30. Gerakan Tani Maumere Kab. Sikka.
  31. Klpk. Peduli Lewotana Kab.Flores Timur.
  32. Forum Pemuda Lembata.
  33. Kelompok Tani Kuru – Kelimutu Kab. Ende.
  34. Kelompok Tani Detusuko Kab. Ende.
  35. Kelompok Tani Detulkeli Kab. Ende.
  36. Gerakan Tani Kajang Kab. Bulukumba.
  37. Komite Perjuangan Rakyat Salasae Kab. Bulukumba.
  38. Komite Persiapan Kota STN Bau Bau.
  39. Forum Masy. Tani dan Adat Budong Budong Kab. Mamuju.
  40. Komite Persiapan Kabupaten STN Buol.
  41. Komite Persiapan Kabupaten STN Banggai.
  42. Komite Persiapan Kabupaten STN Donggala.
  43. Komite Persiapan Kabupaten STN Parigi Mutong.
  44. Komite Persiapan Kabupaten STN Kutai Kertanegara.

Sengketa Tanah, Petani Unjukrasa Di DPRD Simalungun


http://www.waspada.co.id/berita/sumut/artikel.php?article_id=93462

Berita - Sumut

13 Jun 07 22:55 WIB

Simalungun, WASPADA Online
Ratusan petani Nagori (Desa) Mariah Hombang, Kec. Hutabayu Raja tergabung dalam Front Solidaritas Perjuangan Petani Mariah Hombang (FSPP MH), Rabu (13/6), berunjukrasa ke DPRD Simalungun, menuntut pembebasan 17 petani yang ditahan polisi dan minta penuntasan sengketa tanah antara petani dan PT Kwala Gunung.

Petani masuk ke gedung DPRD Simalungun sekitar pukul 10.00 mengendarai dua truk dan sepeda motor. Selain berorasi petani juga membawa puluhan spanduk berukuran besar dan kecil yang intinya menuntut pihak kepolisian membebaskan 17 rekan mereka, dan pihak dewan menyelesaikan kasus sengketa tanah Mariah Hombang.

"Tim penyelesaian yang dibentuk sebagai alat dari penguasa untuk mengakhiri perjuangan masyarakat. 17 Petani mempertahankan tanahnya, tetapi harus mengakhiri perjuangannya di balik terali besi," teriak Feri Simarmata di hadapan anggota komisi I DPRD.

Dalam orasinya, Fery meminta DPRD tidak tinggal diam dan harus berpihak kepada rakyat atau petani. Dikatakan, petani selalu jadi korban tindakan refresif aparat penegak hukum dalam sengketa tanah dan selalu ditindas penguasa, yang membuktikan tidak adanya perhatian pemerintah untuk membela hak-hak petani yang dirampas penguasa," kata Feri bersemangat.

Usai pengunjuk rasa menyampaikan orasinya secara bergantian, massa FSPPMH diterima salah seorang anggota Komisi I DPRD Simalungun, Sabar Maruli Simarmata beserta Kabag Tapem Pemkab Simalungun, Jonni Saragih, SIP. Aksi pengunjuk rasa mendapat pengawalan ketat pihak keamanan.

Menurut SM Simarmata, selama ini dewan tetap berpihak kepada masyarakat. Dia mengimbau pengunjuk rasa tidak melakukan hujatan terhadap Bupati, Kapolres maupun dewan. Sebab itu bisa mengurangi semangat untuk memperjuangkan aspirasi petani.

"Besok Komisi I DPRD Simalungun ke Medan menemui pejabat di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dan BPN Sumut, mempertanyakan masalah sengketa tanah Mariah Hombang," tutur Simarmata.

Sementara Kabag Tata Pemerintahan Setda Kab. Simalungun, Jonni Saragih, mengatakan penyelesaian sengketa tanah antara petani dan pengusaha masih dibahas bersama instansi terkait, sehingga para petani diharapkan bersabar.

"Pemerintah daerah bersama tim terkait sedang membahas penyelesaian sengketa tanah antara petani Mariah Hombang dan pengusaha dan telah beberapa kali dilakukan pertemuan, sehingga petani diharapkan bersabar menunggu hasilnya," kata Saragih.

Pengamatan Waspada, meskipun pihak perwakilan petani telah diundang untuk bermusyawarah dengan Komisi I dan Pemkab, namun hasil pembicaraan tidak membuahkan hasil. Hal ini menimbulkan kejengkelan bagi pengunjuk rasa. Hingga pukul 17.30 massa masih terus bertahan di gedung dewan. Mereka mengatakan tidak akan keluar dari halaman kantor dewan apabila tuntutan mereka, yakni pembebasan 17 petani yang ditahan di Polres Simalungun tidak dikabulkan. (a15) (wns)


Friday, June 15, 2007

Penangkapan Petani Simalungun, Warga Tuntut Kapolri Copot Kapolres

http://www.vhrmedia.net/home/index.php?id=view&aid=4957&lang=

Jakarta - Perwakilan petani Desa Mariah Hombang, Simalungun, Sumatera Utara, berunjuk rasa di Mabes Polri. Puluhan orang itu menuntut pembebasan 16 warga yang ditahan di Polres Simalungun sejak 19 April lalu.

Juru bicara aksi, Sugiarto, mengatakan 16 warga yang ditahan itu ditangkap secara sewenang-wenang oleh personel Polsek Simalungun. Mereka dipersalahkan menggarap kebun di atas tanah yang di klaim milik PT Kuala Gunung yang kini menjadi sengketa dengan warga.

“Kami meminta pembebasan petani yang ditahan sejak 19 April 2007. Kami juga menuntut Kapolri mencopot Kapolres Simalungun AKBP Alex Mandalika,” kata Sugiarto, Senin (11/6).

Padahal, menurut Sugiarto, tanah 2.000 hektare hadiah dari raja Jawa itu sudah ditempati warga secara turun-temurun sejak tahun 1916. Tanah itu memang pernah dipinjam Dinas Kehutanan Sumut untuk proyek penghijauan. Pada tahun 1990 juga pernah disewakan oleh Raja Inal Siregar (Gubernur Sumut saat itu) kepada PT Kuala Gunung. Namun izin pemanfaatan lahan oleh perusahaan itu habis tahun 1993, sehingga tanah seharusnya dikembalikan kepada warga.

Bukannya dikembalikan, PT Kuala Gunung lewat kuasa hukumnya, Jhonson Timbul Situmorang, justru menjual sebagian tanah itu seluas 687,5 hektare kepada seorang pengusaha di Simalungun. Penjualan tanah ini memicu konflik dan sengketa antara warga dan perusahaan tersebut.

Sebagai dukungan terhadap perwakilan warga yang berunjuk rasa di Jakarta, hari ini 600 warga Desa Mariah Hombang menggelar aksi serupa di depan Markas Polres Simalungun. Selain menuntut pembebasan warga yang di tahanan, mereka juga mendesak pemerintah segera mengembalikan tanah milik warga. (E1)

Tambahan :
Kekerasan terhadap petani Mariah Hombang, Simalungun, yang berbuntut pada penahanan 17 warga desa terhadi pada Forum Nagori Mariah Hombang salah satu jaringan Serikat Tani Nasional di Kab. Simalungun.