Saturday, June 28, 2008

Sewa Tanah Dan Para Bujang

FOTO kalangan bujang laki-laki dan perempuan yang tengah bekerja sebagai buruh panen padi di Kampung Kobak Gabus Desa Medan Karya Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karanwang, Jawa Barat.

-----

KARAWANG, STN. Siapa bilang bahwa feodalisme telah hilang di pedesaan? Praktek monopoli tanah oleh kaum pemilik masih mudah dijumpai di desa penghasil tanaman pangan. Salah satunya adalah Kampung Kobak Gabus Desa Medan Karya Kec. Tirtajaya yang terletak di pesisir utara Kab. Karawang. Tak satupun dari sejumlah 74 keluarga warga kampung yang memiliki sawah. Padahal mereka hidup di tengah hamparan kuningnya padi yang siap panen bulan ini.

“Dalam usaha tani tanaman pangan, khususnya padi, sistem bagi hasil jauh dari adil bagi para penyewa tanah dan rendahnya upah para bujang,” kata Agus Wahyudi [33] aktifis Serikat Tani Nasional di kampung tersebut. Bujang adalah sebutan bagi buruh tani. Sementara, tuan tanah mempekerjakan bujang melalui upah.

“Kira-kira, sehari mereka mendapatkan upah sebesar Rp. 25 ribu termasuk makan dan rokoknya. Sementara untuk bujang perempuan hanya Rp. 20 ribu,” terang Agus. Jangan dibayangan bahwa para bujang bekerja tiap hari per bulannya. Karena mereka biasanya hanya bekerja di saat musim tanam dan musim panen. Hal senada juga disampaikan Kang Martha [37] seorang buruh tani setempat.

Kang Martha menambahkan bahwa rata-rata para bujang di kampung tersebut bekerja untuk, sebutlah, Haji Nadi. Oleh warga desa ia dikenal sebagai orang kaya yang baik. Baik di sini dalam pengertian bahwa ia membuka lapangan pekerjaan dengan mengajak warga tak bertanah menjadi bujang. Konon, Sang Haji menguasai hampir 75% dari seluruh lahan persawahan desa.

Selain memiliki bujang, orang seperti Haji Nadi juga menyewakan tanah dengan pembayaran pembagian dari hasil panen. Perimbangannya sebesar 1:1 antara pemilik tanah dan penyewa. Pembagian tersebut masih bersifat kotor. Sang penyewa masih menanggung biaya modal usaha tani, seperti belanja pupuk, obat, benih dan sewa traktor jika diperlukan.

Tony Quizon, pejabat sementara International Land Coalition kawasan Asia, menyebutkan bahwa bagi hasil yang demikian pernah dialami petani filipina pada periode tahun 1960-an. “Now, it is more equal for Philiphino peasant. But That's not enough. Landreform is a must.” tambahnya saat bertemu STN pada Senin [23/06] di Jakarta.

“Oleh karena itu, para buruh tani yang berhimpun dalam kelompok sedang mengusahakan perjuangan bagi hasil yang lebih adil untuk petani penggarap dan menaikkan upah buruh tani. Apalagi kenaikan harga BBM bulan lalu sangat memukul buruh tani di kampung ini,” tegas Agus.

Beternak Itik

Untuk mencukupi penghasilan, para keluarga buruh tani memilih beternak itik yang digembalakan secara tradional. Ada hubungan yang saling menguntungkan antara itik dan padi. Itik tersebut cukup digembalakan di areal persawahan jika panen padi datang. “Tak jarang, kami harus ngangngon itik sampai ke desa tetangga bahkan ke Bekasi. Cari tempat yang sedang panen padi,” tambah Kang Martha.

Gabah sisa potong padi dan nggebot [merontokkan gabah] adalah pakan yang baik. Sehingga Sang pemilik itik tidak perlu biaya ekstra untuk membeli pakan buatan pabrik. Pakan pabrik hanya mereka gunakan untuk titit, sebutan bagi anakan itik, hingga usia dua bulan yang dicampur dengan bekatul, menir dan irisan daging kijing, sejenis kerang yang hidup di air payau.

Apa yang dimanfaatkan dari itik? “Telor untuk yang perempuan dan daging untuk yang jantan,”jawab Pak Lami [43]. Pengalaman memelihara dan menggembalakan itik selama sepuluh tahun terakhir telah mengubah Pak Lami dari seorang buruh tani menjadi pengusaha kecil yang sedikitnya memiliki 3000 ekor itik. Harga telor itik kini mencapai Rp. 1000/butir sementara dagung pejantan laku dijual Rp. 35.000,-/ekor untuk usia lima bulan.

Pertanian Padi Di Karawang

Pertanian padi di Karawang memiliki sejarah yang panjang. Ia dibangun sejak jaman mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung. Ketika itu pertanian berfungsi untuk menopang rencana mataram untuk melakukan serangan terhadap Batavia.

Karawang bagian pesisir utara merupakan salah satu daerah pertanian penting dan pemasok terbesar padi bagi kawasan di sekitarnya. Tetapi keadaan tersebut tidak menjadikan masyarakat hidup dalam kesejahteraan. Kemiskinan telah menyebabkan mereka menjual sawah dan bekerja sebagai buruh tani, penyewa tanah maupun buruh migran di luar negeri.

Sementara, banjir dan kekeringan senantiasa mengintai setiap tahunnya. Pada musim penghujan 2006, banjir telah menenggelamkan sekitar 3000 ha areal persawahan. Apabila dalam 1 ha menghasilkan 4 ton gabah, maka jumlah kerugian yang di derita petani di dalam kawasan tersebut berkisar 10.000 – 12.000 ton gabah. Dengan harga rata-rata gabah Rp. 1.800/Kg pada masa itu, ditafsir jumlah nominal kerugian yang diderita mencapai Rp. 21.600.000.000,00 per musim panen.

Tanggung Jawab Negara

“Negara patut bertanggung jawab untuk membantu golongan petani paling miskin di pedesaan dengan melaksanakan reforma agraria sejati [RAS]. Pukulan kenaikan harga BBM tidak cukup ditolong dengan pemberian Bantuan Langsung Tunai semata,” tegas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat STN. Di lapangan pertanian tanaman pangan, RAS mengandung maksud bahwa tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri sebagaimana semangat Undang Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 [UUPA] pada pasal 10 ayat 1 dan ayat 2.

Di samping itu, RAS juga berarti menjaminkan hak kalangan buruh tani dan tani miskin dengan menurunkan sewa tanah melalui kenaikkan bagi hasil yang lebih mencerminkan keadilan dan kenaikan upah buruh tani. Dari sisi usaha pertanian, RAS patut mengurangi bunga peribaan serta menaikkan harga produk pertanian kaum tani untuk menetralisasi pertengkulakan.

Dapatkah negara hari ini menjalankan UUPA dan RAS?

Monday, June 23, 2008

Buruh Migran Perempuan Dan Petani Miskin Dari Kampung Palasari

FOTO Bu Enting [52] dari Kampung Palasari yang tengah menggarap lahan di Kutatandingan. Peranserta kaum perempuan dalam produksi yang patut diapresiasi tinggi.

-----

KARAWANG, STN. Menjadi buruh migran di negeri orang adalah impian bagi para perempuan di kampung itu. Gaji yang besar sebagai pembantu rumah tangga adalah alasan mereka meninggalkan keluarga. Derita buruh migran teraniaya yang sering ditonton serta didengar dari berbagai media elektronik tak jua menyurutkan langkah. “Desa kami miskin. Kami gak mau ikut [menjadi] miskin,” tutur, sebut saja, Ito.

Ito adalah seorang perempuan muda berusia dua puluh lima tahun dan baru saja menikah pada bulan yang lalu. Sementara rata-rata perempuan seusianya di kampung telah memiliki beberapa orang anak. “Saya telat menikah karena ke Saudi selama tiga putaran,” jelasnya.

Sambil bercerita panjang lebar tentang pekerjaan rumah tangga yang takkala menjadi buruh migran di Saudi, Ito menuturkan bahwa hampir 90% perempuan di kampungnya pernah dan sedang mengenyam pekerjaan sebagai buruh di negeri orang. Sebagian besar dari mereka terbang ke jazirah Arab dan Malaysia. Sementara sebagian lainnya ke Taiwan, Hongkong serta Singapura.

Di antara mereka, para alumni saudi-lah yang terkenal paling bersinar di kampung. Hal ini dicirikan dengan berdirinya rumah tembok bata nan megah. Tak ubahnya seperti rumah di kota besar.

“Kami yang muslim lebih senang memilih majikan yang seagama. Negara-negara Islam adalah tujuan utama kami,” terang Ito. Mereka merasa risih apabila majikan di negara tempat bekerja adalah orang non-muslim. Mengapa? Mereka takut melanggar agama bila hrus memasak makan-makanan yang tidak halal menurut Islam. Oh la la. Ia rupanya tidak tahu bahwa menurut Institute For Migrant Workers [Iwork] bahwa pelecehan seksual sampai pemerkosaan mengintai setiap gerak langkah para buruh migran perempuan Indonesia yang bekerja di kawasan Timur Tengah. Hal ini disampaikan Iwork di artikel berjudul Istilah muskilah yang menyakitkan … dalam situs resminya.

“Itulah keadaan kampung kami. Sebagian besar penduduk di kampung adalah petani miskin yang memiliki kurang dari 0,2 Ha sawah,” kata Atan Nurmana Jaya [39], seorang anggota Serikat Tani Nasional [STN]. Kang Atan, demikian ia biasa disapa, menjelaskan bahwa usaha tani di kampung tersebut bukanlah sawah dengan saluran irigasi teknis. Petani hanya mengandalkan hujan dan memanfaatkan derasnya aliran sungai yang mengalir di seberang kampung pada musim tersebut sebagai sarana irigasi tradional.

Bagaimana masyarakat mengatasi keadaan tersebut? “Masyarakat di kampung ini memilih dua cara untuk mengatasinya, menjadi tenaga kerja di luar negeri atau menggarap di Kutatandingan” jawab Kang Atan.

Kutatandingan adalah sebutan yang diakrabi oleh masyarakat untuk menunjuk kawasan hutan produksi yang dikelola Perhutani. Pengelolaan tersebut dilakukan oleh KPH Purwakarta melalui BKPH Teluk Jambe dan BKPH Pangkalan. Namun keberadaan petani penggarap di kawasan ini menuai reaksi dari pihak Perhutani. Salah satunya adalah praktek pemungut pajak di Kutatandingan.

Kampung Palasari berbatasan langsung dengan kawasan hutan Kutatandingan. Secara administrasi, ia berada dalam wilayah Desa Kutalanggeng, Kecamatan Tegalwaru Kabupaten Karawang. Untuk menuju kampung ini dibutuhkan waktu 1,5 jam berkendaraan dari ibukota Karawang menuju arah selatan.

Sampai kapan perempuan dan petani miskin Kampung Palasari bisa bertahan?

Tuesday, June 17, 2008

Pemungut Pajak Di Kutatandingan

FOTO kawasan Kutatandingan yang kering dan ditelantarkan oleh KPH Perum Perhutani Purwakarta. Sejak 1997 dimanfaatkan oleh petani miskin tak bertanah untuk bertani ala kadarnya.

-----

KARAWANG, STN. Sebut saja ia bernama Asman. Usianya sudah melebihi setengah abad. Namun badannya tampak kokoh, khas petani yang gemar bekerja keras di ladang dan sawah. Rumahnya berada di Kampung Palasari yang berbatasan dengan kawasan hutan Kutatandingan. Secara administrasi, kampungnya masuk dalam wilayah Desa Kutalanggeng Kec. Tegalwaru Kab. Karawang. Ia mengaku kurang gembira setiap panen padi tiba. “Saya dan beberapa orang petani lainnya sering dipunguti pajak,” akunya kesal.

Asman dan lima orang petani lainnya, sebut saja bernama Edi, Adung, Kemud, Juli dan Anip, adalah para penggarap ladang di kawasan Perhutani yang hingga hari ini masih bertahan.

Semuanya berawal dari tahun 2004. Ketika itu, Perhutani Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan [BKPH] Pangkalan selesai melakukan kegiatan pemanenan kayu akasia di petak yang dikenal oleh masyarakat sebagai Cikadut. Pihak Perhutani memperkenankan masyarakat untuk membersihkan tunggak-tunggak kayu dan mengusahai lahan tersebut untuk berladang. Namun, ‘izin’ tersebut dibarengi dengan pungutan sebesar Rp. 10.000,- per orang sebagai biaya ‘pendaftaran’.

Asman dan kawan-kawannya serta puluhan petani miskin tak bertanah lainnya terpaksa menerima syarat tersebut. “Kami tidak berani membantah, Pak,” kenangnya.

Rupanya bukan hanya biaya pendaftaran saja yang dipungut. Ketika memasuki musim panen padi ladang para penggarap kembali dimintai pungutan. Kali ini upeti yang mesti diserahkan ditetapkan sebesar jumlah bibit yang ditanam pada areal garapan tiap petani. “Kalau seorang petani penggarap memerlukan 2 kuintal bibit padi maka sebesar 2 kuintal gabah wajib diserahkan di saat musim panen,” jelas Asman.

“Di Cikadut kami hanya bertahan dua tahun. Karena tanah sudah kurang subur setelah empat musim tanam padi ladang. Tahun 2006 kami pindah ke blok hutan Cijambe,” lanjutnya. Di blok tersebut Perhutani baru saja selesai memanen kayu akasia. “Tapi biaya pendaftaran tetap membebani kami. Kali ini sebesar Rp. 50.000,- per orang. Lebih mahal, Untuk pungutan tiap musim panen padi mah tetep,” tuturnya sembari mengelus dada.

Jadi, siapa sebenarnya yang memungut itu? Asman hanya menyebut nama Sholeh dan Aseng. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata Aseng adalah salah seorang pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan [LMDH] Langgeng Sari Desa Kutalanggeng.

Menduduki Kutatandingan

Kutatandingan adalah sebutan yang diakrabi oleh masyarakat untuk menunjuk kawasan hutan produksi yang dikelola Perhutani. Pengelolaan tersebut dilakukan oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan [KPH] Purwakarta melalui BKPH Teluk Jambe dan BKPH Pangkalan. Kawasan seluas ± 7200 ha ini meliputi lima kecamatan yakni Ciampel, Teluk Jambe Barat, Teluk Jambe Timur, Pangkalan dan Tegalwaru.

Atan Nurmana Jaya [39], anggota Serikat Tani Nasional [STN], menuturkan bahwa Kutatandingan sejak 1997 relatif ditelantarkan oleh Perhutani. Lahan bekas tebangan tanaman jati yang diusahai pada masa masa lalu dibiarkan terbengkalai. Sementara di sisi lain, masyasrakat yang tinggal di sekitar Kutatandingan didera kemiskinan berkepanjangan akibat ketidak-cukupan lahan usaha pertanian.

Kang Atan, demikian ia biasa disapa, adalah golongan petani miskin sebagaimana layaknya penduduk lain di Kampung Palasari. Luasan sawah yang digarapnya hanya 1800 meter persegi. Itupun lahan waris milik orang tuanya. Demikian juga dengan para tetangganya. Sawah yang mereka miliki rata-rata tak kurang dari 0,2 Ha. “Makanya sejak 1999, saya dan petani miskin lainnya menggarap ladang di kawasan Kutatandingan,” jelasnya

Di tengah gelora reformasi 1998, Kutatandingan diduduki oleh petani yang miskin dan kaum tak bertanah. Mereka membersihkan areal yang terbengkalai dari sisa-sisa tunggak tanaman jati dan menanaminya dengan padi lading jenis lokal yang dikenal dengan nama kokosan, beragam palawija dan pisang-pisangan. “Kami tanami tanaman kayu seperti jeunjing/sengon/albazia, kayu kapuk, kayu nangka dan petani serta jengkol di areal miring agar tidak longsor,” tambah bapak satu anak ini.

Mereka yang duduk di Kutatandingan tidak hanya berasal dari desa-desa sekitar Kutatandingan. Kaum miskin tak bertanah dari berbagai pelosok di Kabupaten Karawang juga berdatangan dan turut mengusahai tanah tersebut. Bahkan ada juga yang berasal dari luar kota, termasuk mereka yang berketurunan suku Bugis dan orang Batak.

“Kemiskinan dan ketiadaan lahan di kampung asal mengharuskan kami seperti ini. Kalau Negara ini serius mengentaskan kemiskinan petani, jalankan landreform dan UUPA [Undang Undang Pokok Agraria -- red] dong!,” tandasnya.

Kini Kutatandingan telah dihuni ribuan keluarga. Di beberapa tempat telah berdiri perkampungan dan diakui keberadaanya oleh Pemerintah Kabupaten Karawang. Pengakuan tersebut ditunjukkan dengan terbitnya Kartu Tanda Penduduk [KTP] dan Kartu Keluarga [KK]. Sebut saja sebuah kampung bernama Cibulakan. Ia memiliki perangkat pemerintahan lokal dan diakui secara administrasi sebagai RT 14 Desa Parungmulya Kec. Ciampel.

Bukankah keadaan yang demikian berakibat pada tumpang-tindihnya kepentingan antara Pemkab Karawang dan Perhutani?

Tindakan Perhutani

Perhutani ternyata tidak tinggal diam atas pendudukan yang dilakukan oleh masyarakat. Menurut Drs. Rahmat selaku Kepala BKPH Teluk Jambe dalam forum dengar pendapat antara STN dengan Perhutani tahun 2005 mengatakan bahwa masyarakat akan diajak bekerja sama dalam pengelolaan hutan di Kutatandingan.

Sejak tahun 2006 pihak Perhutani mendirikan LMDH di beberapa desa sekitar Kutatandingan. Jajaran pengurus LMDH dipilih sepihak dari kalangan birokrasi desa dan petani kaya. Keikutsertaan petani penggarap kurang mendapat perhatian. Oleh karennya LMDH cenderung berpihak pada Perhutani.

“Sekiranya Negara RI patut dengan segera malaksanakan reforma agraria sejati di kawasan hutan. Kawasan-kawasan hutan produksi yang telah dikelola oleh petani penggarap patut segera dilepaskan status kawasannya, “ tegas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat STN. Setelah itu, wilayah kelola tersebut harus diakui oleh negara RI sebagai alat produksi masyarakat untuk hak atas pangan. “Dan hal mendesak yang harus diberantas adalah tindakan pemungutan pajak secara sepihak kepada petani penggarap.”

Saturday, June 14, 2008

Dirjen PLA Deptan RI Turut Kritis Atas Rencana Pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat

MAJALENGKA, STN. Kiranya pihak Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan Dan Air Departemen Pertanian RI [Dirjen PLA Deptan RI] harus memenuhi janjinya. Komitmen Ir. Tangkas Panjaitan, M.Ag.Sc yang mewakili departemen tersebut dalam temu wicara [20/05] sekiranya menggembirakan para petani miskin Desa Sukamulya Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka.

Hal tersebut termaksud dalam surat Direktorat Pengelolaan Lahan Dirjen PLA Deptan RI bernomor 166/PP.400/B.3/05/08 perihal rencana alih fungsi lahan sawah. Mereka meminta kepada Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Jawa Barat dan Kepala Dinas Pertanian Kab. Majalengka agar menyerap aspirasi petani yang tergabung dalam Forum Komunikasi Rakyat Bersatu [FKRB] untuk meninjau ulang KA AMDAL. Hal ini berkaitan dengan rencana pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat [BIJB] di kawasan tersebut.

Koreksi Data

Dalam surat tertangal 29 Mei 2008 dan ditandatangani oleh Ir. Suhartanto MM selaku Direktur Pengelolaan Lahan juga disebutkan pentingnya koreksi data produksi sawah tadah hujan yang tertulis dalam KA AMDAL. Data yang tertulis sebesar 0,6 ton GKP per hektar seyogyanya adalah sekitar 6 ton GKP per hektar.

Besarnya produksi sawah tadah hujan tersebut menjadi salah satu dasar ketidaksediaan para petani miskin apabila lahan pertanian dan pemukimannya dibangun menjadi BIJB.

"Departemen Pertanian RI telah bertindak tepat. FKRB telah mendesak mereka dengan langkah yang tepat pula. Namun kami tidak lantas berpuas diri. Mengawal proses surat tersebut adalah agenda kami selanjutnya agar tidak menyeleweng dari perjuangan ini," tegas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional [KPP STN].

Ikhwal Sengketa

Desa Sukamulya adalah satu dari sebelas desa yang menjadi korban rencana pembangunan BIJB di Kecamatan Kertajati. Rencana ini diajukan oleh Dinas Perhubungan Propinsi Jawa Barat. Pada tahun 2006 lalu sebuah tim meneliti kelayakan lingkungan di sekitar lokasi rencana pembangunan BIJB dan membuahkan dokumen KA AMDAL yang menjadi acuan proyek selanjutnya.

Berbagai upaya perjuangan FKRB telah dilakukan. Terakhir, mereka bersama KPP STN menyelenggarakan kegiatan yang bertepatan dengan hari jadi desa dan dihadiri oleh kalangan Departemen Pertanian RI.

Thursday, June 12, 2008

Dua Petani Pencuri 'Mbosa' Akhirnya Divonis 2,5 Bulan

BAWEN, STN. Setelah mengalami sekali persidangan di PN Kabupaten Semarang, Senin [09/06] Tuwolo [30-an] dan Budi [25] divonis bersalah dan dijatuhi hukuman selama 2,5 bulan potong masa tahanan. Keduanya adalah anggota kelompok tani yang menginduk pada Serikat Tani Nasional [STN] di Dusun Kalisalak Desa Lemahireng Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang.

"Yang pasti mereka akan menghirup udara bebas pada hari Minggu 06 Juli 2008," jelas Sungkowo, anggota polisi dari Polsek Tengaran Kabupaten Semarang yang memantau jalannya persidangan.

Tanggapan Komnas HAM

Komisoner Komnas HAM dari Sub komisi Pemantauan, Johny Nelson Simanjuntak, mengemukakan simpatinya atas hal ini. Melalui email ia menyatakan bahwa Komnas HAM beritikad untuk mengambil tindakan yang merupakan wewenang Komnas HAM. Semisal melihat ke lapangan, memanggil PTPN yang bersangkutan atau tindakan lain yang mungkin dilakukan. "Saya berharap bahwa kerjasama yang sedang dan akan dibangun memberi manfaat maksimal untuk petani," tulisnya diakhir email yang dikirimkan kepada STN.

Donny Pradana WR dari KPP STN mengemukakan rencana penyelenggaraan dialog terbuka atas kasus mboso yang melibatkan para pihak, termasuk Komnas HAM. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya awal kampanye massa tentang hak memungut mbosa sebagai jalan keluar jangka pendek untuk mengatasi krisis kehidupan akibat kenaikan harga BBM.

Baca juga artikel sebelumnya yang berjudul Mengumpulkan 'Mbosa' Karena Miskin

Monday, June 2, 2008

Mengumpulkan 'Mbosa' Karena Miskin

BAWEN. STN. "Ada dua orang warga sini yang ditangkap mandor kebun sekitar tanggal 20-an bulan April lalu. Saat ini mereka mendekam di tahanan Polsek Bawen. Pihak PTPN menuduh mereka mencuri 10 Kg mbosa seharga Rp. 10.000,-. Sungguh Keterlaluan!," geram Mbah Mangun [70] seorang anggota kelompok tani setempat yang tergabung dalam Serikat Tani nasional.

Mbosa adalah sisa tetes getah karet. Mengumpulkan mbosa adalah pekerjaan yang sama pentingnya dengan bertani bagi kalangan petani miskin dan buruh tani di sekitar perkebunan karet PTPN XIII. Perusahaan perkebunan tersebut memiliki kurang lebih 470 Ha areal tanaman karet yang terhampar di Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Dua orang yang ditangkap adalah warga Dusun kalisalak Desa Lemahireng Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Mereka adalah Tuwolo [30-an] yang telah berkeluarga dengan satu orang anak dan Budi [25] yang kebetulan masih melajang. Keduanya juga anggota kelompok tani yang dianggotai Mbah Mangun.

Hingga saat ini, keduanya dititipkan dalam tahanan Polsek Bawen oleh pihak kejaksaan setempat. Sementara dalam bulan ini akan diselenggarakan persidangan tanpa adanya pembelaan hukum yang berarti.

Tentu saja hal ini membuat Mbah Mangun pantas geram. Bagaimana ia tidak geram?

Pertama, mbosa tak lebih dari getah karet yang jatuh ke tanah. Setelah bercampur dengan tanah, gerah karet tersebut tak lagi berwarna putih susu dengan bau menyengat seperti telur busuk. Jadi, mbosa lebih tepat disebut limbah/sampah dari pada sebagai getah karet.

Kedua, terlambatnya informasi penangkapan Tuwolo dan Budi yang diterima oleh kelompok tanimengakibatkan tidak tertanganinya pembelaan hukum yang memadai bagi keduanya.

Kemiskinan

Sejak bergulirnya reformasi 1998 yang lalu, anggota kolompok tani dan masyarakat Dusun Kalisalak dengan gagah berani telah menggarap 41 Ha tanah terlantar di areal PTPN XIII. Namun pendapatan yang dihasilkan dari usaha bertani di atas tanah tersebut hanya mencukupi untuk keperluan makan sehari-hari.

"Bagaimana dengan biaya sekolah anak dan kebutuhan lain di luar makan? Apalagi kini harga-harga sembako makin mahal setelah BBM dinaikkan oleh pemerintah SBY-JK. Maka kita harus bisa bertahan hidup dari apa yang didapat si sekitar kebun karet", jelas Barno [35] aktifis Serikat Tani Nasional yang memimpin kelompok tani Dusun Kalisalak.

Diduga kuat pihak mandor dan sinder perkebunan memang sengaja mengumpulkan dan menjual mbosa ke kalangan penadah untuk mendapatkan sekedar uang tambahan. Mereka merasa tersaingi dengan keberadaan warga miskin yang juga turut mengumpulkan mbosa.

Keadaan serupa juga terjadi Desa Sedandang Kecamatan Pageruyung Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, sebagaimana tersaji dalam artikel Kompas, Rabu 09 April 2008 yang lalu berjudul Kemiskinan; Mengais Sisa-sisa Tetes Getah Karet.

Dengan demikian kesejahteraan warga di sekitar perkebunan patut menjadi perhatian penting oleh negara. Sekiranya, Program Pembaruan Agraria Nasional yang hendak dicanangkan oleh pemerintahan SBY-JK harus diletakkan sebagai sebuah kerangka untuk memberikan pengakuan atas 41 Ha areal terlantar PTPN XIII yang digarap kaum tani dan pemberian hak memungut mbosa sebagai jalan keluar jangka pendek untuk mengatasi krisis kehidupan akibat kenaikan harga BBM.

"Apabila hal tersbut tidak dijalankan maka PPAN bukanlah reforma agraria sejati," tandas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional.